Sebenarnya
kejujuran bukan saja sangat penting untuk kepribadian seseorang dan untuk
membangun kehidupan bernegara atau bermasyarakat yang baik, tetapi juga sangat
penting untuk kehidupan beragama. Karena hampir semuah ibadah dalam agama islam
mengandung hikmah atau aspek kejujuran. Seseorang yang batal sholatnya karena
sesuatu yang keluar dari dalam tubuhnya yang tahu hanya dirinya sendiri dan
malaikat serta Tuhan. Begitu juga dalam hal ibadah lainnya seperti kewajiban
membayar zakat, seseorang menghitung sendiri jumlah zakatnya dan menghitung
sendiri pencapaian syarat nisabnya.
Ibadah berpuasa dan membaca dua kalimat
syahadat, juga butuh kejujuran kepada diri sendiri dan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa. Karena jika tidak jujur kepada diri sendiri dan kepada Tuhan maka bisa
jadi membaca dua kalimat syahadatnya menjadi tidak sah, misalnya jika antara
hati kecilnya tidak seperti apa yang diucapkannya.
Namun
sayangnya kejujuran yang sangat berharga tersebut tidak tumbuh subur atau malah
sulit tumbuh di negeri yang beridelogi Pancasila dengan sila pertamanya Ketuhanan
Yang Maha Esa ini. Yang paling subur di sini adalah kebohongan dan pencitraan
demi mendapatkan harta dan tahta, karena dengan harta dan tahta banyak orang
bisa hidup bermewah-mewah bagai surga dunia. Makanya film dan acara televisi di
negeri ini yang laku atau yang juga
banyak penontonnya adalah acara-acara yang banyak memamerkan kemewahan.
Karena
sebagian besar masyarakat negeri ini sangat mengagungkan dan mencintai
kemewahan tanpa peduli dengan bagaimana cara mendapatkan kemewahan tersebut. Tidak
banyak media yang menampilkan acara-acara yang sifatnya mendidik atau mencerdaskan
bangsa, walaupun semua tag line hampir semua mencerdaskan bangsa. Padahal kata
pemimpin negeri ini, negeri ini sedang menuju menjadi negeri maju atau sedang
dibangun untuk menjadi Negara maju, sejahtera dan aman tenteram. Akan tetapi
faktor yang membuat sebuah Negara menjadi maju, makmur, aman dan sejahtera
yaitu kejujuran seperti yang telah terbukti di Negara Denmark dan beberapa
Negara lainnya tidak dipupuk di negeri ini.
Kejujuran bukan saja tidak dipupuk
agar subur di negeri ini, bahkan cenderung dimatikan, sehingga penulis
memberanikan diri menulis artikel dengan judul Menanam Kejujuran Di Lahan
Kebohongan.
Pertanyaannya,
Kenapa kejujuran tidak dipupuk agar subur di negeri ini? Bagaimana kejujuran bisa
subur jika sebagian orang tua memberi makan anaknya atau membayar biaya
pendidikan anaknya bukan dari uang hasil kejujuran. Orang tua yang ketika masuk
kerja ke sebuah instansi dengan cara menyuap atau setelah bekerja mendapatkan
penghasilan dari suatu kegiatan yang tidak jujur, seperti mendapat bonus dari
hasil rekayasa prestasi dan sebagainya.
Dari sisi lain sebagian besar orang tua
tidak pernah memberikan penghargaan atau apresiasi atas kejujuran anaknya,
apresiasi hanya diberikan jika anaknya berprestasi atau mendapat nilai yang
baik, tak peduli bagaimana caranya mendapatkan nilai yang baik tersebut.
Pada
kebanyakan istansi atau institusi, hampir semua manajemen tidak peduli dengan
kejujuran atau malah bisa jadi kejujuran dianggap oleh sebagian bos sebagai benalu
yang membahayakan. Kenapa demikian? Atasan yang senang dengan penghargaan atau
reward yang akan membuat namanya terkenal serta karirnya bisa melesat tinggi,
biasanya tak peduli bagaimana caranya mendapatkan reward tersebut. Kalau perlu
prestasi untuk mendapatkan reward tersebut direkayasa sedemikian rupa, sehingga
kegagalan bisa saja disulap menjadi keberhasilan dengan cara menyembunyikan data
atau kejadian yang sebenarnya.
Belum lagi atasan yang hobi barang mewah atau
kehidupan mewah berlebihan, yang mungkin tidak akan mencukupi jika dibiayai
dari gaji atau penghasilan sang atasan. Atau kalaupun penghasilannya cukup
tetapi dia tidak mau membiayai kehidupan mewahnya dari penghasilannya, tentu
satu-satunya cara adalah mengakali uang perusahaan. Dan itu semua biasanya
dilakukan oleh anak buahnya, karena kolusi dan korupsi tidak bisa dilakukan
oleh satu orang saja, tetapi harus beberapa orang yang bekerja sama.
Mekanisme
akuntansi dan mekanisme control hanya bisa dijebol dengan kerjasama
oknum-oknum, bukan satu orang oknum. Kalau sudah seperti ini maka karyawan yang
jujur akan dianggap sebagai virus penyakit atau sebagai orang yang tidak loyal
atau sebutan-sebutan lainnya yang akan membuat si jujur tersingkir.
Begitu
juga dengan kehidupan politik bangsa ini, dengan politik pencitraan dan money
politic semuanya berbiaya tinggi yang bahkan tidak sebanding dengan nilai yang
akan mereka dapat setelah mereka terpilih. Sehingga di negeri ini mungkin yang
terbanyak kepala daerah dan pejabat Negara serta anggota dewan yang tertangkap
korupsi, dibandingkan Negara tetangga atau Negara berkembang lainnya. Nah biaya
yang sudah dikeluarkan tersebut tentu harus dikembalikan, bagaimanapun caranya,
karena sering juga terjadi biaya tersebut adalah pinjman.
Hal ini diperparah
karena masyarakatnya juga tidak peduli dengan yang namanya kejujuran, bagi
mereka pembagian kaos, sarung atau sembako dan sebagainya lebih menarik dan
penting dibandingkan nilai-nilai kepribadian calon pemimpin yang akan mereka
pilih. Sehingga tidak mengherankan jika ada nara pidana korupsi yang sedang
dipenjara masih bisa terpilih kembali, atau anak atau keluarga dekat dari
seorang koruptor besar dipilih lagi oleh rakyatnya untuk menjadi pemimpin.
Itu
baru tiga contoh nyata dalam kehidupan berbangsa ini yang memperlihatkan sulit
tumbuhnya kejujuran atau tidak diperlukannya kejujuran karena malah sering
dianggap sebagai benalu yang merusak rimba kebohongan. Dan penulis sangat yakin,
bahwa pada sektor atau lapisan sendi kehidupan lain bangsa ini juga seperti itu.
Bagaimana
memperbaikinya? Tentu diperlukan kesadaran bersama pemimpin dan rakyat bangsa
ini, mulai dari diri sendiri dan hal-hal sederhana untuk selalu jujur dalam
bersikap dan bertindak. Bagi pemimpin yang memiliki kewenangan dan hak memilih
atau mengangkat bawahannya, dapat melakukan :
1. Memilih
atau mengangkat yang jujur atau paling tidak yang paling jujur dari yang
lainnya.
2. Memberi
keteladanan selalu bersikap dan berkata jujur.
3. Memberi
penghargaan atas sikap jujur anak buah.
4. Memberi
hukuman atau punishment terhadap kebohongan atau penyelewengan.
5. Membangun
sistim dan aturan yang menutup atau mempersempit peluang berbuat tidak jujur.
Lalu bagaimana dengan masyarakat atau
rakyat biasa ?
1. Memilih
dan menghormati pemimpin yang jujur.
2. Berusaha
selalu bersikap,bertindak dan berkata jujur.
3. Memberikan
penghargaan dan menghormati semua aktifitas yang mengandung kejujuran.
Perubahan
ke arah yang baik memang membutuhkan pemimpin yang jujur dan punya kemaun yang
kuat untuk membangun kejujuran. Pemimpin yang memiliki kemauan yang kuat untuk
memunculkan orang-orang jujur di negeri ini kemudian menyebarkan atau mencangkoknya
orang-orang jujur keberbagai institusi atau lembaga. Sehingga orang-orang jujur
tersebut menjadi teladan dan trigger untuk mulai menyuburkan kejujuran di semua
elemen bangsa ini. Jika ada yang pesismis bahwa sulit menemukan orang jujur
atau mustahil menemukan orang jujur sekarang ini, itu karena belum pernah
dicoba atau komentar yang datang dari orang-orang yang menikmati kegiatan yang
mengandung unsur ketidakjujuran saja.
Demikian, semoga ada manfaatnya….
Aamiiin ya rabbal alamin..
Jakarta, 10 Februari 2021
Dedi Mahardi
Inspirator-Inovator-Author