Filosofi dan Implementasi Kato Nan Ampek di Minangkabau
![]() |
Salingkaluak.com,- Kato Nan Ampek "Kata yang Empat" adalah salah satu pilar filsafat dan etika komunikasi yang sangat mendasar dalam kebudayaan Minangkabau, yang berfungsi sebagai standar atau ukuran dalam berinteraksi sosial sehari-hari.
Konsep ini mengajarkan bagaimana cara bertutur kata yang tepat, santun, dan sesuai dengan hubungan sosial antara penutur dan lawan tutur, sejalan dengan prinsip adat Minangkabau yang berlandaskan pada syarak, yakni "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah".
Empat jenis tutur kata ini ialah: Pertama, Kato Mandaki (kata mendaki), yang digunakan oleh orang yang lebih muda atau berkedudukan lebih rendah kepada yang lebih tua atau dihormati (seperti anak kepada orang tua, murid kepada guru, atau kemenakan kepada mamak), dengan penekanan pada bahasa yang sangat sopan, santun, dan menunjukkan rasa hormat.
Kedua, Kato Manurun (kata menurun), kebalikan dari yang pertama, digunakan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda (seperti orang tua kepada anak, atau guru kepada murid), yang disampaikan dengan bahasa yang lembut, bijaksana, dan penuh kasih sayang, serta bertujuan untuk mendidik atau memberi nasehat tanpa merendahkan.
Ketiga, Kato Mandata (kata mendatar), yang diterapkan saat berkomunikasi dengan teman sebaya atau orang yang memiliki status sosial setara, di mana bahasa yang digunakan cenderung netral, santai, dan fleksibel, tetapi tetap harus menjaga batas kesopanan dan tidak menyinggung perasaan.
Terakhir, Kato Malereang (kata melereng), yaitu kata yang digunakan dalam situasi yang sensitif atau kepada pihak yang disegani, tetapi memiliki hubungan kekerabatan yang canggung untuk diajak berbicara secara terus terang (seperti antara mertua dan menantu, atau mamak rumah kepada sumando/ipar). Tuturan ini disampaikan secara tidak langsung, sering kali menggunakan kiasan, sindiran yang halus, atau perumpamaan untuk menjaga etika berbahasa dan menghindari benturan langsung.
Secara faktual, kemampuan mengamalkan Kato Nan Ampek mencerminkan budi pekerti dan adab seseorang; mereka yang tidak memahaminya sering diistilahkan sebagai "indak tau di nan ampek", yang menyiratkan rendahnya adab di mata masyarakat. Namun, seiring dengan pengaruh globalisasi dan modernisasi, penerapannya Kato Nan Ampek ini telah mengalami pergeseran, terutama Kato Malereang yang sudah mulai memudar di kalangan generasi muda, meskipun nilainya tetap relevan sebagai fondasi untuk komunikasi yang etis dan harmonis dalam komunitas Minangkabau.
Sehingga menurut hemat penulis, dirasa perlu bagi generasi muda di Minangkabau ini untuk memahami tatakrama atau adab berbicara sesuai Kato Nan Ampek tersebiut dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis: Riva Amanda
Mahasiswi Strata 1 Prodi SPI UIN Syech M. Djamil Djambek Bukittinggi
