Dua Sisi Mata Uang Digital: Menilik Pengaruh Media Sosial terhadap Pergaulan Remaja
Salingkaluak.com,- Dalam dua dekade terakhir, lanskap interaksi sosial telah mengalami revolusi fundamental, terutama di kalangan remaja. Platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter) kini bukan lagi sekadar alat komunikasi, melainkan telah menjelma menjadi arena utama pembentukan identitas, validasi diri, dan, yang terpenting, pergaulan sosial mereka.
Fenomena ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial membuka pintu koneksi tanpa batas, memecah sekat geografis, dan memfasilitasi gerakan sosial. Namun, di sisi lain, ia juga menghadirkan ancaman nyata berupa cyber bullying, tekanan untuk mencapai kesempurnaan artifisial, dan isolasi sosial di dunia nyata.
Mengutip dari penelitian yang dilakukan oleh Syarifah A.M, dkk., (2025), perkembangan teknologi digital yang pesat telah mengubah berbagai aspek kehidupan, termasuk cara anak-anak dan remaja berinteraksi, belajar, dan mencari informasi.
Di Indonesia, penetrasi internet telah mencapai 77,02% pada tahun 2023, dengan 60% pengguna aktif merupakan anak muda berusia 13–24 tahun. Media sosial menjadi salah satu platform yang paling banyak digunakan, dengan aplikasi seperti TikTok, Instagram, dan WhatsApp mendominasi aktivitas harian mereka.
Meski memberikan manfaat seperti perluasan wawasan dan akses informasi cepat, penggunaan media digital yang tidak bijak dapat memicu berbagai risiko, seperti kecanduan, cyber bullying, paparan konten berbahaya, hingga perilaku pergaulan bebas yang meresahkan.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis bagaimana mekanisme interaksi digital ini berkorelasi dengan kualitas dan kesehatan mental pergaulan remaja di era disrupsi teknologi saat ini.
Interaksi digital hampir selalu melibatkan konten yang telah disaring dan diedit (curated), yang memicu perbandingan sosial yang destruktif. Di antaranya ialah:
Pemicu Body Dysmorphia dan Kecemasan Penampilan: Remaja akan terus-menerus membandingkan diri mereka dengan "kesempurnaan" filter atau influencer yang mereka lihat setiap waktu. Hal ini dapat mengganggu citra diri (self-image) dan memicu gangguan makan atau kecemasan penampilan.
Fear of Missing Out (FOMO): Remaja terbiasa dan berketerusan melihat kegiatan menyenangkan yang dilakukan orang lain, menciptakan persepsi bahwa hidup mereka kurang berharga atau membosankan. Secara mental, ini menghasilkan kecemasan konstan dan perasaan terasing (social exclusion), bahkan ketika mereka berada di lingkungan fisik yang aman.
Interaksi digital yang bersifat cepat, anonimitas semu, dan permanen, juga sangat mempengaruhi dinamika konflik dalam pergaulan, seperti:
Cyber bullying dan agresi digital: Sifat anonimitas atau semi-anonimitas membuat pelaku merasa tidak terbebani oleh konsekuensi sosial langsung, sehingga agresi (penghinaan, doxxing) meningkat. Bagi korban, luka psikologisnya lebih parah karena serangan bersifat publik, permanen, dan mudah diakses.
Siklus berita yang cepat: Konflik dalam pertemanan (drama) dapat menyebar dalam hitungan detik. Ketiadaan waktu untuk "pendinginan" (cooling-off period) membuat penyelesaian konflik secara sehat menjadi sulit, meningkatkan level stres dan trauma dalam pergaulan.
Dalam interaksi digital, algoritma juga sering kali memprioritaskan konten yang memperkuat keyakinan yang sudah ada, menciptakan echo chamber. Hal ini akan berdampak pada pergaulan remaja. Pergaulan menjadi kurang toleran terhadap perbedaan pandangan. Remaja yang hanya berinteraksi dengan teman yang memiliki pandangan sama mungkin kehilangan keterampilan bernegosiasi dan berempati terhadap lawan bicara yang berbeda.
Hal tersebut juga berdampak terhadap kesehatan mental remaja. Keterlibatan dalam polarisasi yang ekstrem, terutama isu sosial, dapat meningkatkan stres kognitif dan mendorong validasi yang agresif, yang bukan merupakan pola pergaulan yang sehat.
Oleh karena itu, untuk menjaga generasi muda atau remaja dari dampak negatif penggunaan teknologi digital ini, ada beberapa hal yang bisa dilalukan untuk memecahkan masalah tersebut.
Generasi muda mesti didorong untuk melek literasi digital. Karena media sosial bukanlah entitas yang harus dilarang, melainkan alat yang harus dipahami dan dikuasai. Kuncinya terletak pada literasi digital yang kritis dan pendampingan yang proaktif.
Pertama, peran sekolah dan keluarga. Institusi pendidikan dan keluarga harus bekerja sama mengajarkan remaja untuk menjadi produsen konten yang bijak dan konsumen informasi yang cerdas atau smart digital. Remaja perlu dibekali kemampuan membedakan konten otentik dari konten yang disaring, serta memahami jejak digital (digital footprint) mereka.
Kedua, mendorong keseimbangan. Menjadi penting bagi guru dan orang tua untuk menekankan kepada anak tentang pentingnya interaksi nyata (offline interaction), perlu adanya batasan waktu di depan layar yang jelas (screen time limits) untuk memastikan remaja tetap memiliki waktu dalam kegiatan fisik, hobi, dan pergaulan atau interaksi langsung dengan teman sebaya atau orang sekitar supaya dapat memupuk ikatan sosial yang sehat.
Selain upaya di atas, menjadi sangat penting juga peran orang tua agar memberikan pendidikan terbaik kepada anaknya. Mendidik anak dengan pendidikan Islam yang benar sejak dini, meneladankan implementasi nilai-nilai keislaman dalam keluarga, seperti mengajarkan dan mengajak anak untuk shalat tepat waktu dan belajar agama dengan baik.
Dalam hal memilihkan pendidikan untuk anak juga patut dipertimbangkan oleh orang tua, salah satunya ialah dengan menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan Islam seperti pondok pesantren. Selain membekali dengan ilmu agama yang mumpuni, penggunaan gadget di ponpes juga sangat dibatasi.
Hal tersebut di atas dirasa perlu untuk diperhatikan dan diterapkan dalam menjaga generasi saat ini agar tetap berada pada tatanan kehidupan yang normal tanpa dibebani banyak hal yang berasal dari digital.
Penulis : Izan Hakim
Mahasiswa Strata 1 Prodi SPI UIN Syech M. Djamil Djambek Bukittinggi
