Search

Kalajengking, Binatang Berbisa Yang Lagi Jadi Trending Topik Di Indonesia

sumber foto aceh tribunnews
Saat ini binatang berbisa yang bernama kalajengking jadi fenomenal di Indonesia. Nama binatang berkaki 8 dan memiliki tubuh beruas ini jadi perbincangan baik dari segi positif sampai negatif di seantero Indonesia. Penasaran Admin mencoba menggoogling tentang Kalajengking dan racun yang dimilikinya. sedikit uraian akan kalajengking dicoba menyalin di sini dengan melampirkan sumbernya.

Kalajengking adalah jenis hewan beruas dengan 8 kaki  (oktopoda) yang termasuk dalam ordo Scorpiones dalam kelas Arachnida. Kalajengking masih berkerabat dengan ketonggeng, laba-laba, tungau, dan caplak. Ada sekitar 2000 jenis kalajengking. Mereka banyak ditemukan selatan dari 49° U, kecuali Selandia Baru dan Antartika.

Tubuh kalajengking dibagi menjadi dua segmen: cephalothorax dan abdomen. Abdomen terdiri dari mesosoma dan metasoma. Arachnoidea.

Semua spesies kalajengking memiliki bisa. Pada umumnya, bisa kalajengking termasuk sebagai neurotoksin (racun saraf). Suatu pengecualian adalah Hemiscorpius lepturus yang memiliki bisa sitotoksik (racun sel). Neurotoksin terdiri dari protein kecil dan juga natrium dan kalium, yang berguna untuk mengganggu transmisi saraf sang korban. Kalajengking menggunakan bisanya untuk membunuh atau melumpuhkan mangsa mereka agar mudah dimakan.

Bisa kalajengking lebih berfungsi terhadap hexapoda lainnya dan kebanyakan kalajengking tidak berbahaya bagi manusia; sengatan menghasilkan efek lokal (seperti rasa sakit, pembengkakan). Namun beberapa spesies kalajengking, terutama dalam keluarga Buthidae dapat berbahaya bagi manusia. Salah satu yang paling berbahaya adalah Leiurus quinquestriatus, dan anggota dari genera Parabuthus, Tityus, Centruroides, dan terutama Androctonus. Kalajengking yang paling banyak menyebabkan kematian manusia adalah Mus muscullus.

Kalajengking purba muncul pada pertengahan Masa Paleozoikum, kira-kira 400 juta tahun yang lalu. Berbeda dengan kalajengking pada umumnya, bentuk kalajengking purba lebih sederhana. Tubuhnya terdiri dari banyak ruas-ruas yang terlindung cangkang tipis. Perbedaan lainnya adalah ukuran tubuh beberapa jenis kalajengking purba yang mencapai 100 kali ukuran kalajengking masa sekarang, 2 hingga 3 meter. Selain itu, kalajengking purba juga hidup di air.

Sumber: https://www.wikipedia.org/

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rosichon Ubaidillah mengatakan, setidaknya dari ribuan spesies kalajengking yang ada di dunia, 90 persen memiliki racun. Namun yang membedakan racun antar kalajengking adalah tingkat dan kualitasnya.

"Ada kalajengking yang punya venom keras (mematikan) dan lunak, dan yang punya venom besar dan sedikit," ujar Rosichon kepada VIVA, Kamis, 3 Mei 2018.

Racun kalajengking pada dasarnya memang berbahaya, namun dengan dipelajari lebih dalam, peneliti LIPI ternyata menemukan secara spesifik komponen racun kalajengking bisa digunakan untuk bahan yang bermanfaat.

Kandungan racun

Peneliti zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Syahfitri Anita menemukan komponen racun kalajengking punya manfaat untuk melawan kanker sampai mikroba, sampai bisa dimanfaatkan untuk analgesik (painkiller).

Dia menuturkan, venom atau racun kalajengking isinya terdiri dari berbagai komponen yang berbeda-beda, di antaranya komponen protein yang fungsinya berbeda-beda juga. Selain protein, ada juga molekul aktif.

"Satu tetes venom kalajengking itu punya ratusan molekul aktif. Molekul inilah yang pada kasus menyerang manusia bisa melumpuhkan. Padahal cuma satu tetes tapi bisa melumpuhkan manusia yang bobotnya berkali lipat besarnya," jelas peneliti berhijab ini.

Komponen molekul aktif, jelasnya, membawa neurotoxin, yang menyerang sel saraf musuh atau manusia. Jika mampu mengisolasi komponen ini, venom atau racun kalajengking bisa dikembangkan untuk analgesik.

"Karena molekul aktif ini bekerja untuk sistem saraf," tuturnya.

Syahfitri menjelaskan, rata-rata kalajengking menghasilkan sedikit racun. Jika divolumekan, satu individu kalajengking punya di bawah 1 mg. Bahkan untuk kalajengking ukuran besar, hanya menghasilkan 0,5 mg venom. Sementara untuk 1 liter berarti 1000 mg.

Jangankan untuk bisa mengumpulkan racun. Untuk menemukan kalajengking, ujar Syahfitri, begitu sulit. Beda dibanding mencari racun ular, yang mana ular relatif mudah ditemukan dibanding kalajengking.

"Jadi mahalnya (racun kalajengking) karena sulitnya (mencari)" jelasnya.

Dia mengakui studi dan riset racun kalajengking di Indonesia memang masih dalam tahap awal. Maksudnya, belum sampai pada tahap ke pengujian laboratorium untuk diolah menjadi bahan setengah jadi atau sejenisnya.

Racun kalajengking di Indonesia, kalah populer dengan racun atau bisa ular. Syahfitri menuturkan, di Indonesia, racun hewan yang paling dikenal adalah ular. Sebab habitat hewan ini mudah ditemukan.

sumber: https://www.msn.com

Bicara racun pada kalajengking, studi peneliti pada 2014 menemukan, venom racun kalajengking berasal dari protein hewan tersebut. Karena tantangan dan evolusi alam, kalajengking memutasi gen protein dalam tubuhnya untuk menjadi racun.

Peneliti juga menemukan racun pada hewan umumnya punya kisah yang sama. Awalnya, hewan yang punya racun memiliki senyawa tertentu dalam tubuh mereka. Tapi karena ancaman dari luar, membuat hewan mengembangkan diri untuk menghasilkan racun.


Dikutip dari Insidescience, Jumat 4 Mei 2018, studi tim ilmuwan Chinese Academy of Sciences menemukan, protein dalam kalajengking, yang disebut defensin, ditemukan pada banyak tanaman dan hewan yang melawan bakteri. Artinya, senyawa protein itu dipakai kalajengking melawan musuhnya.

Peneliti mengurutkan genetika asam amino dalam defensin, dan menemukan adanya perubahan gen tunggal yang mengubah defensin menjadi racun.

Dari temuan itu, ilmuwan berpikir dahulu kala kalajengking berasal dari daratan dan karena alam tersapu ke lautan. Di lingkungan air itu, kalajengking berevolusi sampai muncul kembali ke daratan pada 400 juta tahun lalu.

Selama masa evolusi di perairan itu, kalajengking berupaya beradaptasi dengan lingkungan dan mangsa dan musuh baru yang berbeda dengan di lingkungan darat. Saat pindah ke laut, ukuran kalajengking menjadi menyusut sehingga kalajengking kesulitan untuk menangkap mangsa. Karena terdesak dengan kondisi, kalajengking mengubah atau memutasi protein menjadi racun, sebagai alat perlindungan diri.

"Saya kira munculnya racun dari defensin adalah konsekuensi dari adaptasi kalajengking kepada ukuran mereka yang menurun. Jadi mereka mengembangkan racun," jelas peneliti Shunyi Zhu.

Temuan peneliti China itu dikonfirmasi oleh peneliti Venom Evolution Laboratory Universitas Queensland, Australia.

Peneliti Venom Evolution Laboratory, Bryan Fry menjelaskan, terjadi perbedaan antara fisik kalajengking kuno dengan kalajengking yang telah berevolusi dalam lingkungan laut. Kalajengking terkuno dan terbesar punya cakar besar dan ekor kecil. Sedangkan kalajengking yang evolusi di laut dan kemudian kembali ke darat, punya hal yang berkebalikan, yakni cakar kecil dan ekor besar.

Pada kalajengking hasil evolusi laut, mereka menggunakan bentuk tubuh itu untuk menangkap dan melumpuhkan mangsa.

Sumber: https://www.viva.co.id