HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Sertifikasi Tanah Melalui PTSL/PRONA di Nagari Sariak Laweh Akabiluru Tuai Polemik

Limapuluh Kota,Salingkaluak.com,- Baru-baru ini, kita kembali disuguhkan dengan kisruh perbatasan antara Nagari Batuhampar-Sariak Laweh dan Nagari Sungai Talang-Sariak Laweh di Kecamatan Akabiluru. Namun, kali ini sorotan publik tidak hanya berfokus pada konflik tersebut, melainkan juga pada polemik hangat terkait sertifikasi tanah melalui PTSL/PRONA di Nagari Sariak Laweh. Banyak masyarakat yang merasa tanah mereka tak dapat disertifikatkan karena sudah terindikasi menjadi milik seorang pengusaha ternama, H. Rul.

H. Rul, seorang pengusaha yang memiliki banyak lahan di berbagai wilayah di Kabupaten Limapuluh Kota, menjadi pusat kontroversi. Tanah yang seharusnya menjadi milik warga setempat justru beralih ke tangan pengusaha ini, yang diketahui memiliki banyak properti di Akabiluru, Harau, dan kecamatan lainnya. Puncaknya, masyarakat setempat mulai merasakan ketidakadilan, mengingat tanah yang mereka kelola selama puluhan tahun kini terancam tidak dapat disertifikatkan.

Salah satu tokoh masyarakat yang merasa prihatin mengungkapkan dalam sebuah surat terbuka di grup WhatsApp, bahwa “beberapa lokasi di wilayah Sariak Laweh, khususnya di Kalumpang, Bukik Kudu, Pondom, dan sekitarnya, tidak dapat mengikuti program sertifikasi tersebut.” Pernyataan ini seakan menjadi bom waktu, memicu perbincangan yang semakin memanas dan membuka tabir kelam yang selama ini terselubung. Bahkan, beberapa pihak mengancam untuk menghentikan sementara proses sertifikasi jika sengketa ini tidak segera diselesaikan.

Menurut informasi yang beredar, tanah yang dikuasai oleh H. Rul mencakup 19 lokasi dengan luas lebih dari 500 hektar. Yang lebih mencengangkan, harga beli tanah tersebut hanya sekitar Rp. 5.000,- per meter. Sebagian besar dari tanah tersebut sebelumnya berstatus ulayat dan sudah dikelola oleh masyarakat setempat sejak lama, dengan aktivitas pertanian dan perkebunan yang telah berlangsung turun-temurun. Kini, status tanah-tanah tersebut menjadi kabur, dan banyak pertanyaan tentang bagaimana proses jual beli dan sertifikasinya bisa terjadi tanpa kejelasan.

Di tengah ketegangan ini, Pemerintah Nagari Sariak Laweh, diwakili oleh Wali Nagari Alex dt. Bagonjong, menggelar pertemuan umum pada 19 Juni 2025 untuk membahas masalah ini. Wali Nagari menyampaikan undangan kepada H. Rul untuk bertemu dengan masyarakat Sariak Laweh dalam rapat terbuka. Langkah mediasi ini disambut hangat oleh masyarakat Nagari Sariak Laweh, yang berharap persoalan ini segera menemukan jalan keluar yang tidak berlarut-larut.

“Ini adalah prestasi luar biasa dari pemerintah nagari,” ujar sejumlah pemuka adat. Namun, langkah ini tidak mudah. Mengingat akar persoalan ini sudah terjalin sejak era 1990-an, banyak pihak yang meragukan apakah mediasi ini dapat menyelesaikan masalah yang sudah berlangsung lama dan melibatkan banyak pihak.

Sejak adanya jual-beli tanah, tidak hanya masyarakat yang resah, tetapi juga munculnya lembaga pendidikan Islam, Pesantren Ma'had Mulazamah Al Huffazh, yang dipimpin oleh seorang kyai kondang. Lembaga ini, yang berencana membangun perumahan muslim dan sebuah masjid besar di atas tanah wakaf yang sebelumnya difasilitasi oleh H. Rul, kini terjebak dalam konflik sengketa batas tanah. Masalah semakin pelik karena sertifikat tanah yang dimiliki hanya menggunakan titik koordinat GPS tanpa penjelasan yang jelas tentang batas-batas tanahnya, yang memicu ketegangan dengan masyarakat setempat.

Luasnya tanah yang diperjualbelikan oleh ninik mamak menambah lapisan kompleksitas, terutama bagi mata pencarian masyarakat yang bergantung pada wilayah tersebut. Tanah tersebut adalah sumber utama mata air bersih dan lahan pertanian yang telah mendukung kehidupan mereka selama bertahun-tahun. Kasus ini membuka kembali luka lama dalam konflik pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia, terutama di Akabiluru, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

Masalah ini juga menambah daftar panjang konflik tanah ulayat dan hak adat di Sumatera Barat yang tak kunjung selesai. Hal ini menjadi perhatian banyak pihak, terutama dalam konteks RUU Prolegnas Prioritas 2025 yang digagas oleh Koalisi Kawal RUU MHA (Masyarakat Sipil yang Terlibat dalam Pengawasan Hukum). Pasal 28I Ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban,” serta Ayat (5) yang menegaskan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia.

Menurut konsensus adat Minangkabau, Sako dan Pusako tidak dapat diperdagangkan sembarangan tanpa alasan yang sah. "Gadih gadang indak balaki, Maik tabujua di rumah gadang, anak gadih dak balaki, Rumah Gadang Katirian dan Mambangkik Batang Tarandam" adalah prinsip yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Bahkan, jika terpaksa menjual, transaksi tersebut harus melibatkan orang terdekat atau keluarga, dan tidak diperkenankan untuk menjual tanah di luar lingkup nagari.

Dengan latar belakang tersebut, kita bertanya: Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Apakah tatanan adat yang sudah lama mengakar kini mulai rapuh, ataukah ada kepentingan tertentu yang manipulatif di baliknya, termasuk praktik korupsi yang melibatkan tokoh pemerintahan dan adat? Semua ini perlu dijawab dengan tuntas oleh pihak-pihak terkait. Tentu, jawabannya akan sangat memengaruhi masa depan masyarakat Sariak Laweh dan kawasan sekitarnya. Apakah kita akan terus menyaksikan keruntuhan moral dan ekonomi di tengah masyarakat, atau justru menemukan jalan menuju solusi yang adil?

Mari kita tunggu perkembangan selanjutnya, terutama setelah pertemuan yang akan digelar oleh Pemerintah Nagari Sariak Laweh dalam waktu dekat. Dalam sebuah konflik yang begitu panjang dan penuh ketegangan ini, hanya waktu yang bisa menjawab apakah kedamaian dapat tercapai atau justru ketidakjelasan akan semakin meruncing.

\*) Bagindo Ali (Penulis adalah salah satu anak nagari Sariak Laweh, tokoh, jurnalis, dan aktivis pemerhati nagari)