Mamaliharo Itiak Tobang Dan Pacu Itiak, Dalam Filosofi "Baitiak"
Oleh : Fajar Malem Sitepu
Baitiak atau memelihara itik adalah pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh peternak untuk diambil telur maupun dagingnya, atau dibiakkan.
Tapi, Baitiak bagi kami Anak Nagari Aua Kuniang di Kota Payakumbuh bukan tentang itik petelur dan pedaging saja, melainkan memelihara itik agar bisa terbang dan berpacu.
Memiliki itik yang pandai terbang dan ikut perlombaan adalah sebuah prestise bagi pemilik itik, dan memenangkan lomba pacu itiak adalah prestasi yang membanggakan tak hanya bagi pemiliknya, tapi juga bagi gelanggang tempat pemilik dan si itik berkecimpung.
Sebagai anak nagari yang pernah memelihara itik pacu, kami menemukan makna dari permainan anak nagari ini, dia memiliki nilai filosofis mendalam dalam membentuk karakter pemuda Minang.
Itik yang kami punya tak langsung pandai terbang, mereka diasuh dan dibesarkan seperti anak sendiri (emang kecap malika?-hehehe) hingga menapaki kelas demi kelas, mulai dari jarak terbang 800 meter hingga kelas boko (1600 meter).
*Chemistry Pemilik dan Itik*
Baitiak ini dimulai dari proses mencari itik yang gadis, spesifikasinya harus perawan, itik ini belum tumbuh lagi bulu sayapnya yang kuat. Dalam proses ini, chemistry (ikatan batin) antara pemilik dan itik berperan dalam menentukan akan sejauh mana hubungan antara alam dan manusia, kalau diumpamakan seperti perempuan belanja baju di mall, mata dan batin satu pilihan, hingga akhirnya pilihan jatuh pada itik, dengan ditutup kalimat, "dek den iko itiaknyo","iko nan suai jo pareso den"
*Disiplin dan Keuletan*
Memelihara itik terbang jauh berbeda dari itik petelur, itik terbang tak bisa sembarang diberi makan, mereka makan padi saja dan suplemen untuk vitamin unggas. Mereka tidak boleh memakan dedak dan siput seperti itik petelur karena akan menyebabkan itik terbang ini "mengawan" atau ingin kawin.
Kalau itik terbang ini sudah kawin dan bertelur, maka berat badannya akan naik dan tentu tidak ideal untuk dibawa berpacu terbang lagi.
Saya sendiri merasakan perbedaan memelihara itik terbang dengan itik petelur. Pada pagi hari sebelum subuh, itik terbang ini sudah heboh membebek di kandangnya karena lapar, saya pasti dibangunkan nenek agar itik diurusi. Bunyi itik yang heboh inilah sebagai pengganti alarm bagi pemuda minang dan orang di atas rumah untuk bangun di pagi hari.
Itik kemudian diberi makan dan minum, kemudian diurut-urut (digosok-gosok) badannya agar bulunya tetap rapi dan itik merasa nyaman.
Setelah itu apakah kembali tidur? Tidak, sembari mengurut itik kami menunggu waktu subuh datang.
Saya dulu beritik saat masih sekolah, jadi itik ditinggal di kandang dengan makan dan minumnya tersedia, kemudian nanti diberi makan dan minum lagi pada siang hari setelah zuhur. Saya pergi main dulu dengan kawan-kawan sebaya hingga ashar datang.
Pasca ashar, itik dipersiapkan untuk dibawa ke gelanggang, tempat "baungguak", disini para pemilik itik berkumpul dan melatih itik terbang, penuh keuletan dan penuh rasa kebersamaan.
Bagi pemuda Minang, disinilah tempatnya kami belajar mengaplikasikan "kato nan ompek", tak jarang banyak uda-uda, apak-apak yang menegur bila salah memanggil orang.
"Itu uda dek ang mah, itu niniak mamak mah, jadi hati-hati dalam bagorah dan bacengkrama", begitulah pesan yang masuk ke telinga kami, anak-anak muda Nagari dari para sepuh peritikan.
*Alek Pacu Itiak*
Saat perlombaan di gelanggang pacuan adalah prestise bagi pemilik itik sekaligus puncak dari evaluasi sejauh mana didikan, keuletan seseorang dalam memelihara itiknya agar bisa terbang dengan baik. Maka jangan salah sangka bila ada orang yang menerbangkan itik dari puncak bukit (kami biasanya di bukik cino) ke arah lurah untuk melatih itik agar bisa terbang lebih jauh.
Menariknya, dalam perlombaan ini, pemilik itik yang ikut lomba tak hanya dari nagari tuan rumah saja, namun ada juga anak nagari dari daerah tetangga (Kabupaten Limapuluh Kota) yang ikut memeriahkan keseruan berpacu itik.
Tak jarang, hadiah lomba bervariasi, mulai dari bintang emas, kambing, jam, peralatan rumah tangga, hingga uang tunai dan trofi. Semuanya bisa didapatkan oleh sang pemilik bila itiknya menang pacu.
*Meredupnya Gairah Bapacu Itiak*
Dulu, setiap kaum di nagari, pasti ada pemudanya yang memelihara itik pacu, mungkin ini bagian dari pengajaran "urang tuo-tuo" agar budaya disiplin dan ulet berlandaskan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah melekat pada diri mereka.
Tapi, alek pacu itiak, sering dirusak oleh keberadaan oknum yang suka main "ganok ganjia", ya itik yang berpacu, si oknum bertaruh dalam perjudian, sehingga tentu merusak citra dari prestise anak nagari yang selama ini berjerih payah mendidik itik dengan penuh ketekunan.
*Saya dan Itik Kesayangan*
Masih ingat, terakhir saya punya itik pas SMP, pernah ikut berpacu dalam alek di gelanggang Padang Panjang (Kabupaten Limapuluh Kota) dan juara 2 untuk kelas jarak 800 meter, padahal itik saya itu beberapa hari sebelumnya pernah kesasar ke kandang itik petelur dan mamakan siput, sehingga bertelur.
Yang paling tak bisa saya lupa adalah, pernah saya punya itik terbang yang mati karena ditabrak mobil pas sedang latihan di jalan dekat rumah, padahal itik itu sudah bisa ikut lomba di jarak 1200 meter. Saking sedihnya saya meraung-raung menangis karena itu itik kesayangan saya, masih ingat warnanya hitam dan ada bercak-bercak putih.
Tapi, Mamak (kakak mama) saya mengatakan pada saya, "itunyo nan baitiak, awak diajanyo harus rila jo nan lah poi, asuah baliak nan baru dengan raso sayang nan sarupo".
Pelajaran berharga tentang pantang menyerah dan disiplin adalah bagian dari filosofi baitiak tabang.
Tulisan ini mungkin hanya secuil dari segenap literasi tentang apa itu memelihara itik terbang dan pacu itik. Saya sangat berharap, kedepan bisa mengulas literasi mendalam lagi dari para tuo-tuo nagari, sehingga suatu saat berbuah film drama collosal yang berjudul "ITIAK BOKO SIBUYUANG", yang tak kalah dari film Merantau atau Surau dan Silek.