Wahyudi Thamrin

Tolak SK Pembekuan, PWI Sumbar Melawan!

Ket fot : Ketua dan DK PWI Sumbar bersama Plt Ketua PWI Pusat Zulmasyah Sekedang


Padang,Salingkaluak.com,- Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Barat menolak SK Pembekuan yang diberikan PWI Pusat, sebab SK tersebut dikeluarkan oleh orang yang sudah jelas-jelas diberhentikan secara penuh dari keanggotaan PWI.

“Ia sudah diberhentikan sebagai anggota PWI, lalu dia pula yang membekukan kepengurusan PWI Sumbar. Benar-benar aneh orang ini,” kata Ketua PWI Sumbar Widya Navies, kepada wartawan, setelah rapat bersama Pengurus PWI Sumbar dan sejumlah pengurus kabupaten/kota, disela-sela Porwanas 2024, di Banjarmasin, Kalsel, Selasa (20/8) malam.

Dikatakan Widya Navies, pihaknya menerima SK Pembekuan dari PWI Pusat melalui pesan WA, Selasa siang. Pesan itu langsung beredar diberbagai media. Kendati demikian, pengurus PWI Sumbar mengabaikannya lantaran Hendri CH Bangun yang menandatangani SK tersebut sudah diberhentikan secara penuh sebagai anggota PWI oleh Dewan Kehormatan PWI, tertanggal 16 Juli 2024.

Hendri CH Bangun diberhentikan sebagai anggota PWI melalui SK Dewan Kehormatan, nomor 50/VII/DK/PWI-P/SK-SR/2024 tentang pemberhentian penuh Hendri CH Bangun sebagai anggota PWI dan SK Dewan Kehormatan (DK) PWI No: 53/DK/PWI-P/VII/2024 perihal pemberhentian sudah sesuai dengan PD/PRT PWI karenanya sah dan berlaku. Pemberhentian tersebut lantaran masalah yang menjeratnya soal bantuan dana UKW dari BUMN.

Sejak pemberhentian tersebut, Hendri Ch Bangun tidak lagi sebagai anggota PWI, namun ia masih bergerak dan bertindak mengatasnamakan Ketua Umum PWI Pusat. Kekisruhan pun terjadi di pusat. Kemudian karena status Hendri Ch Bangun sudah diberhentikan penuh sebagai anggota PWI, maka rapat pleno menetapkan Zulmansyah Sekedang sebagai Plt Ketua Umum. Tugas utamanya untuk melaksanakan Kongres Luar Biasa (KLB) PWI.

Terhadap persoalan yang terjadi di pusat, sejak awal PWI Sumbar sudah komit untuk tidak terlibat di ranah tersebut, namun tiba-tiba pengurus PWI Pusat mengundang Ketua PWI Sumbar untuk memberikan Klarifikasi KLB. Surat tersebut dibalas sembari menyatakan tidak bisa memenuhi undangan lantaran pada waktu bersamaan sangat disibukkan oleh sejumlah kegiatan, termasuk mempersiapkan kontingen ke Porwanas.

Dua hari berselang, tepatnya 14 Agustus 2024, PWI Pusat mengirimkan Surat Peringatan kepada PWI Sumbar. Peringatan tersebut merujuk pada Peraturan Dasar pasal 8 huruf a, bahwa anggota muda dan anggota biasa PWI berkewajiban untuk mentaati PD, PRT, KEJ, KPW dan keputusan-keputusan organisasi.

Menariknya, peringatan yang diberikannya berupa Peringatan Pertama dan Peringatan Terakhir. 

Sikap penolakan dan melawan tindakan Hendri Ch Bangun tersebut, menurut Ketua DKP PWI Sumbar Zul Effendi, sangatlah tepat. Apalagi rujukannya untuk anggota, tetapi yang dibekukan organisasi. Lagi pula, tidak disebutkan, siapa anggota yang bermasalah dan apa masalahnya.

Rapat membahas SK Pembekuan PWI Sumbar juga dihadiri Sekretaris PWI Sumbar Firdaus, Wakil Ketua Bid Organisasi Sawir Pribadi, Wakil Ketua Bid Pendidikan H Khudri, Wakil Ketua Bid Multimedia Eriyanto, Wakil Ketua Bidang Antar-Lembaga Dr H Amiruddin,SH, MH, Wakil Ketua Bidang Kesra H Jayusdi Effendi, Wakil Ketua Bidang Aset Edi Jarot, Bendahara Reviandi, Wakil Bendahara Guspayendri, Wakil Sekretaris Lailatul Aidil, serta sejumlah pengurus kabupaten/kota. 


Dugaan Penyimpangan Dana UKW


Seperti diungkapkan pakar hukum dan etika pers Wina Armada sebelumnya, prahara di PWI Pusat ini bermula dari dugaan penyimpangan dana UKW   yang berasal dari Forum Humas BUMN senilai Rp 6 miliar. Dana itu masuk ke kas PWI, sudah sempat dikeluarkan sebesar Rp. 1.771 miliar untuk cashback dan fee orang dalam di PWI (Hendry Bangun dkk). Perinciannya, untuk Cashback ke BUMN sebesar Rp.1.080 M dan Rp.691 juta untuk ordal alias orang dalam PWI.

Cashback untuk  pihak BUMN dibuat tanda terimanya tanggal 29 Desember 2023.  Dalam kuitansi jelas tertera “Untuk pembayaran cashback UKW PWI - BUMN.” 

    Dalam pandangan hukumnya, bukti ini tidak dapat disangkal lagi, semula uang itu digelontorkan atas nama cashback, dan bukan lainnya. 

“Jika belakangan diubah oleh Hendry dengan istilah lain, itu untuk menutupi penyelewengan  dan semata menyamarkan bukti  yang ada. Tanda terima untuk cashback itu juga dilengkapi dengan tanda tangan.  “Padahal pihak Forum Humas BUMN dengan tegas membantah telah mengatur keharusan adanya  cashback, apalagi sampai menerima cashback,” ujar Wina. 

Audit yang dilakukan di Forum Humas  BUMN memang terbukti tidak ada pengeluaran dan penerimaan cashback sebagaimana dimaksud dalam dokumen tanda terima karangan Hendry Bangun Cs. 

Wina menjelaskan ada dua hal mendasar terhadap fakta ini. Pertama, semua uang Rp 1.080 M yang sudah sempat keluar dari kas PWI, perlu dipertanyakan keluar kemana, karena Forum Humas BUMN membantah  telah menerima uang terebut. “Dari sini saja sudah terang benderang unsur dugaan korupsinya  sudah terpenuhi,” kata Wina.

Wina mengatakan, dirinya dalam kasus ini  sengaja memilih istilah  “korupsi,”  lantaran pada saat sekarang, dari praktek tata kelola keuangan negara, semua aset, kekayaan dan keuangan BUMN dimasukan sebagai keuangan negara. “Pada bagian ini dapat diartikan, korupsi terhadap keuangan BUMN  sama dengan korupsi terhadap keuangan negara,” terangnya.

Hal kedua, aliran dana yang sudah sempat keluar dari kas PWI dan ada tanda terimanya yang seakan dari Forum Humas BUMN, menimbulkan dugaaan ada pemalsuan tanda tangan   pihak Forum Humas BUMN . “Ini sudah telak menambah  unsur pidana,” katanya.

Di mata Wina, unsur pidana semakin jelas, setelah  Dewan Kehormatan PWI dalam keputusannya memerintahkan agar uang cashback itu dikembalikan, dan kemudian pengurus PWI mengembalikan uang tersebut, lengkap dengan bukti pengembaliannya di formulir bank. Ternyata pengembalian uang memang bukan dari Forum Humas BUMN melainkan dari  pengurus PWI sendiri dalam hal ini mantan Sekjen PWI, Sayyid Iskandar. Dengan  begitu sudah terang benderang  kemana aliran dana yang sempat melayang hilang,” ujarnya.

Wina mengingatkan, pengembalian uang dalam kasus dugaaan korupsi tidaklah menghilangkan unsur tindak pidana korupsinya sendiri. Paling, katanya, hanya dapat dipakai untuk pertimbangan mengurangi hukuman.