Search

Mengenang Jembatan ” RATAPAN IBU” Tempat Eksekusi Pemuda Pejuang Dalam Rangkaian Sejarah PDRI


Payakumbuh,- Setelah membaca sejarah Nagari Koto Nan Gadang Payakumbuh dalam rangkaian sejarah PDRI yang banyak peminatnya , tiga orang mahasiswa dari Padang datang berkunjung kerumah mencari catatan tentang sejarah Jembatan Ratapan Ibu yang ada di Pasar Ibuah Payakumbuh untuk dibuatkan cerita komik . Saya jelaskan sejarah Jembatan Ratapan Ibu mempunyai catatan sejarah pilu terhadap kekejaman pasukan Belanda dimasa Agresi ke II (Desember 1948 sd Juli 1949). Tugu ini dibuat berkaitan erat dengan tugu yang ada di depan Kantor KAN Koto Nan Gadang dan Makam Pemuda Para Pejuang di Balai Jariang yang ketiganya saling berkaitan.
Sejarah Jembatan Ratapan Ibu

Koto Payakumbuh dilewati sebuah sungai yang dinamai Batang Agam. Bila kta melewat Jalan A.Yani, yaitu jalan yang cukup ramai dan sibuk yang menghubungkan Pasar Pusat Pertokaan Blok Barat dan Blok Timur dengan Pasar Ibuah, maka akan melewati Jembatan itu, yang dahulunya disebut Jembatan batag Agam.

Menurut sejarahnya jembatan mulai dibangun tahun 1840 dan memiliki panjang 40 meter dengan arsitektur kuno berupa susunan batu merah setengah lingkaran yang direkat dengan kapur dan semen tanpa menggunakan tulang besi. Jembatan ini melintasi Batang Agam, menghubungkan Pasar Payakumbuh dan Nagari Aie Tabik. Jembatan tersebut menjadi terkenal dan bersejarah karena menjadi tempat eksekusi para pejuang kemerdekaan oleh tentara Belanda pada zaman Agresi Belanda II.

Saat ini , di pingir Jembatan berdiri sebuah Patung Wanita yang sedang menunjuk ke dalam Batang Agam, seolah-olah memberi kabar bahwa di bawah Jempatan Batang Agam tersebut ada kisah pilu yang menyayat hati seorang ibu tentang anaknya menjadi korban keganasan Pasukan Belanda , sehinga sekarang jembatan Batang Agam tersebut dikenal dengan sebutan “ Jembatan Ratapan Ibu “, karena banyaknya ibu-ibu yang meratapi anaknya yang menjadi korban kebiadaban tentera Belanda semasa Agresi ke II berlangsung di Luak Limopuluah.

Rangkaian PDRI

Dari cacatatan sejarah dimana pada tanggal 19 Desember 1948 kota Yogyakarta dan Bukittinggi di serang secara serentak oleh Belanda. Bukittinggi di bumi hanguskan dan para pemimpin menyingkir ke Halaban dan pada tanggal 22 Desember 1948 mendeklerasikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketuanya Syafruddin Prawiranegara.

Pada tanggal 23 Desember 1948, tetara Belanda menduduki Kota Payakumbuh.Pada malam sebelumnya bangunan-bangunan penting di kota ini dibumi hanguskan pula antara lain Markas Bataliyon Singga Harau, Kantor Bupati, Kantor Bank, Gonjong Limo dan Pabrik senjata di Kubu Gadang.

Dalam Harian Singgalang, minggu 18 November 1990, C. Israr, menuliskan, tindakan pertama yang diambil Belanda adalah memberikan pengumuman dengan pengeras suara:
Tentera kerajaan Belanda telah datang rakyat diharapkan tenang. Barang siapa yang mencoba melarikan diri, mengadakan kekacauan, atau perampokan akan ditembak mati. Jam malam mulai diberlakukan dari jam 18.00 sampai jam 6.00 pagi.

Kemudian diikuti dengan tindakan pembersihan. Sewaktu-waktu terdengar tembakan-tembakan dan keadaan kota benar-benar tidak aman. Mereka yang dicurigai dan tidak ikut perintah, dibunuh secara kejam. Disana-sini mayat bergelimpangan.

Belanda mulai menyusun pemerintahanya di Kota Payakumbuh. Kepala pemerintahan yang mula-mula adalah seorang kontroleur bernama W.G.Klinj, yang kemudian digantikan oleh W.Van Pilis. Kantor pemerintahannya Tijdelijk Bestuur Amtenar (TBA) berkedudukan di Labuah Baru yaitu kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) sekarang.

Untuk kepentingan tugas militer,Belanda membentuk Dinas Informasi yang disebut Inlchting Dienst (ID) yang dikepalai oleh Letnan Ofades Treuner yang lebih dikenal dengan letnan Ofa, Stafnya Sersan Zsecher cukup mahir berbahasa minang.

Tugas pokok ID adalah mencari informasi situasi kota Payakumbuh dan sekitarnya, serta menyelidiki kekuatan Republik. Letnan ofa memakai beberapa orang kaki tangan, yang terkenal keganasannya ialah seorang Cina bernama Nyo Lek An alias De An.

Namun jangan dianggap aman didalam kota, karena hampir setiap malam tetara dan pemuda-pemuda BPNK bergerilya menyusup kedalam kota, menyerang pos-pos Belanda. Akibat serangan gerilya yang hampir setiap malam itu,Belanda tambah mengganas siang hari mereka mengadakan patroli dan operasi . Dalam operasinya itu banyak pemuda-pemuda tertangkap,digiring kedalam kota dan ditembak dijembatan Batang Agam.

Belanda memperhitungkan pemuda Koto Nan Gadang karena daerah lain seperti Koto Nan Ampek, Labuah Basilang dan lain-lain telah kosong tanpa gerakan. Markas pertama para pemuda Koto Nan gadang dibawah pimpinan Mardisun adalah Langgar Pandam di pinggir Batang Agam Balai Cacang. Dari sana mulai dkumpulkan segala senjata rakyat : senapan , bedil pemburu, senapang balangsa dan granat tangan.

Pada tanggal 13 Januari 1949 Dt. Karaiang Wali Nagari Koto Nan Gadang memanggil para pemuda yang bertempat di sebuah langgar di Balai Jariang. Ia menerangkan bertemu dengan Belanda. Dia melakukan itu dengan terpaksa. Karena Belanda mengancamnya akan membakar rumah dan kampungnya Balai Kaliki. Pemuda di bawah pimpinan Mardisun dengan tegas menolak untuk bergabung dengan Belanda karena kita tidak boleh membuat perjanjian dan bertemu dengan musuh.
Belanda kemudian di Koto Nan Gadang membuat posnya di rumah guru Saidi Simpang Jalan ke Rumah Sakit Umum Payakumbuh yang lain di rumah Dt. Patiah Baringek Balai Baru ( sekarang Rumah Adat H.Marlius). Pemuda Koto Nan Gadang setiap malam melancarkan serangan-serangan gerilya dan penghadangan-penghadangan yang menyebabkan banyak kerugian jiwa yang diderita oleh pasukan Belanda, sedangkan usaha-usaha yang mereka lakukan untuk menghancur kan kekuatan gerilya selalu gagal. Akhirnya Belanda yang naik pitam melakukan tindakan yang biadab. Dalam aksi pembalasan dendam pasukan Belanda menangkap dan membunuh siapa saja yang dieksekusi dijembatan Batang Agam.

Kisah-Kisah Tragis Di Jembatan Batang Agam

Dari kesaksian M. Djuri dan Ramli keduanya dari kelurahan Padang Alai Air Tabik, Payakumbuh yang diceritakan kepada C. Israr sebagai berikut,Pada hari kamis taggal 30 Desember 1948 pagi, Belanda mengadakan operasi ke Sicincin,Air Tabik sampai ke Padang Alai. Dalam operasi ini,pemuda-pemuda Padang Alai banyak yang tidak dapat meloloskan diri dan tertangkap 16 orang banyaknya, kemudian seluruh pemuda ini dibawa ke Kota Payakumbuh kira-kira jam 11.00, dikumpul dimuka rumah Lamid yang dijadikan Belanda sebagai markasnya.
Tidak lama kemudian datang pula serombongan pemuda yang ditangkap di Sicincin.Semua kami ini disuruh duduk ditengah beberapa jam lamanya. Tidak ada pemeriksaan dan pertanyaan yang diajukan kepada kami. Hanya kami dihardik dan dipukul.

Jam 16.00 sore kami dinaikkan ke atas truk, dibawa melewati jalan dimuka kantor Bupati, mengelok ke jalan Lundang terus ke kampung Terandam dan masuk jalan Batang Agam. Dimuka Jembatan Batang Agam itu truk berhenti dan kami diperintahkan turun. Disana ada tentara Belanda, serta seorang Cina yang bernama Nyo Lek An alias De An dan bersama orang Payakumbuh yang terkenal dengan Kancil bertempat tinggal di Padang Tiakar.

De An dan Kancil ini memilih dan memisahkan 12 orang pemuda yang tertangkap mereka diperintahkan tiarap diatas jalan. Dan berempat orang yaitu; Ramli, M.Djuri,Sama dan Kasim disuruh terdiri disamping truk. Kemudian kepada pemuda yang tertangkap lainnya dikatakan “Kalian kalau mau hidup boleh pulang” Mereka pun bergegas meninggalkan tempat itu menuju arah Labuh Basilang, tiba-tiba tentara Belanda memberondong pemuda-pemuda yang tiarap itu dengan tembakan. Tidak ada yang berkutik, semua tewas pada saat itu juga. Keempat pemuda (Ramli, M.Djuri,Sama dan Kasim ) menjadi kecut dan yakin akan mengalami nasib yang sama.
Tetapi kempat pemuda tersebut disuruh mengangkat mayat yang berlumuran darah itu dan diperintahkan melemparkannya ke Batang Agam ditempat air terjun. Setelah semua korban dilemparkan dari atas jembatan ke Batang Agam, maka keempat pemuda tadi disuruh pulang dan diberi sebungkus rokok Signet. Perasaan keeempat pemuda tersebut kecut dan takut kalau-kalau ditembak dari belakang dan hari pun sudah senja.

Malam hari Belanda tidak berani keluar kota, karena mendapat perlawanan yang sangat ketat oleh pasukan dibawah pimpinan Mardisun dari Koto Nan Gadang yang sering menyerang Pos Belanda dimalam hari, maka hanya disiang hari mereka mengadakan patroli dan operasi ke negeri-negeri sekitar Payakumbuh. Dalam setiap patroli mereka membawa kaki tangan sebagai penunjuk jalan dan mata-mata. Diantara kaki tangan mereka yang terkenal kejam, selain Cina yang bernama Nyo Lek An alias De An itu ada lagi yang bernama Sastro.bekas pelayan hotel Hasdar Payakumbuh dan Wali Nagari Koto Nan Gadang Dt.Karaiang bersama pesuruhnya Paduko Dewa.Merekalah yang meberikan informasi orang-orang yang dicurigai dan dianggap anti Belanda. Baik mereka yang ditangkap sewaktu diadakan operasi ataupun terhadap mereka yang ada dalam Kota Payakumbuh sendiri.

Belanda semakin menganas.Mereka yang dicurgai dan dtangkap itu dibawa kekantor ID.Disana mereka disiksa dan dipaksa untuk menceritakan dimana pasukan Republik, berapa jumlah, bagaimana persenjataannya, siapa komandannya. Siapa tokoh pemerintah, dimana mereka berada. Siapa dalam Kota Payakumbuh yang membentuk Republik atau yang anti Belanda; serta di hujani dengan berbagai pertanyaan lainnya.

Banyak diantara mereka yang tutup mulut, sekalipun mereka dsiksa dengan kejam, dipukul dengan popor senapan, dstrom dsb. Mereka memilih mati dari pada berkhianat kepada Republik Indonesia. Mereka inilah yang kemudian dibawa ke Jembatan Batang Agam. Disanalah mereka ditembak mati.
Ada diantara mereka disuruh naik ke atas tembok, berdiri menghadap kearah air terjun, lalu mereka diberondong dari belakang jatuh dari ketinggian lebih kurang 8 meter terhempas keras pada tembok batu air terjun. Kemudian mayat mereka dibawa pusaran air, berputar-putar ditempat itu untuk beberapa lam, lalu hanyut dibawa arus hilir.

Pembunuhan kejam ini sering dilakukan sore hari menjelang senja, disaat kota mulai sepi, pintu-pintu mulai ditutup , orang tidak berani keluar lagi dan jam malam hampir datang.
Ada juga yang dibawa kesana subuh-subuh, seperti catatan yang dialami Khaidir Anwar Dt.Rajo Imbang (Mantan Anggota DPRDTk II Kodya Payakumbuh). Dia berasal dari kesatuan Singa Harau yang ditangkap Belanda disore hari oleh kaki tangan Belanda orang kampungnya sendiri. Untung dia tdak dibawa ke kantor ID, tetap dibawa ke Bivak yang dulunya disebut Benteng, dekat RSU sekarang. Setelah semalam suntuk di interogasi, subuh paginya dibawa Jembatan Batang Agam, diperintahkan jongkok di atas tembok dan dibawah air terjun menunggu.

Dia sudah siap menghadapi maut dan hanya pasrah dan berdoa kepada Tuhan, tinggal lagi menant detik-detik pelatuk senapan ditarik. Tetapi Tuhan Maha Kuasa, entah bagaimana memang sebelum ajal berpantang mati, Khaidir Anwar Dt.Rajo Imbang diperintahkan turun dari tembok itu, ia tidak jadi ditembak. Dan entah bagaimana dia kemudian dibebaskan.

Ada lagi kisah Zulkarnaini, panggilan sehari-hari Buyuang Ketek yang berasal dari Kelurahan Parit Rantang Kenagarian Koto Nan Ampek. Ia berhasil menyelamatkan diri sewaktu di tembak di jembatan Batang Agam, itu peluru hanya menggeser kulitnya; ia terjun kepusaran air, menyelam, bersembunyi, kemudian dapat menyelamatkan diri.

Menurut perkiraan , mereka yang jatuh korban ditembak tentera Belanda di Jembatan Batang Agam selama Agresi II berjumlah 90 orang. Nama-nama mereka yang korban tu sebagiannya dapat dketahui dan sebagiannya tidak.

Karena seringnya pasukan Belanda di serang di dalam Kota Payakumbuh oleh Pasukan yang dipimpin Mardisun di malam hari, maka Belanda mengutus Wali Nagari Koto Nan Gadang Dt.Karaiang bersama pesuruhnya Paduko Dewa dan juga hadir beberapa orang Ninik mamak untuk menemui Mardisun dan pasukannya di Nangkodok.

Pertemuan di Masjid Arsyad Nangkodok

Di sore hari pada hari Kamis 2 Februari 1949 datanglah Wali Nagari Koto Nan Gadang Dt.Karaiang bersama rombongannya yang terdiri beberapa ninik mamak ke Masjid Nan Kodok. Mereka duduk berjejer di Migrab dan pemuda dibawah pimpinan Mardisun duduk menghadap mereka.
Dt.Karaiang membuka pembicaraan, “ saya kemarin di panggil Belanda dan telah mengambil kesepakatan untuk keamanan Nagari dan rakyat Koto Nan Gadang. Kita mengharapkan ketentraman, sehingga tidak ada korban jiwa dan harta. Untuk itu kami datang kemari, member tahukan kepada masyarakat mungkin pendapat kami sejalan dengan masyarakat dan pemuda-pemuda kita” ujar Dt.Karaiang sambil membuka gulungan kertas dan membacakan pasal demi pasal isi perjanjian tersebut:
“Pertama, tiap-tiap kampung di Koto Nan Gadang agar terpelihara dari gangguan keamanan diadakan ronda malam. Orang-orang yang ronda malam memakai band tangan yang distempel Belanda” ujar Dt.Karaiang.

Mendengar hal ini langsung ditangapi Mardisun “ Seperti pertemuan kita terdahulu, bahwa tidak dibolehkan berhubungan dengan musuh. Dan kami tidak setuju diadakan ronda malam di setiap kampung, apalagi dipasangkan band tangan yang diberi stempel oleh Belanda. Apakah tidak terpikir oleh pak datuk dan Walinagari dengan band di tangan yang distempel Belanda pasti orang luar dari Nagari Kita telah mencap kita pasukan NICA dan hal ini merupakan musuh rakyat. Ini dapat membahayakan kehidupan dan ketentraman nagari dan Rakyat Koto Nan Gadang.

Rakyat di sekeliling kampung kita pasti melakukan gerilya kepada kita terlebih dahulu “ ujar Mardisun. Kemudian dilanjutkan oleh Dt. Kiraiang kembali “ Siapa yang keluar rumah malam hari harus membawa lampu dan suluh “ terang Dt.Karaiang. langsung dijawab Mardsun “ Kami tidak mengizinkannya dan barangsiapa membawa penerangan akan mati kami bacok “ ujar Mardisun.
Kemudian Dt. Kiraiang dengan nada tinggi berkata “ kalau saudara-saudara tidak menyetujuinya, Belanda akan membuat posnya mulai dari Tanjuang Anau, Payolinyam, Nan Kodok, Kaniang Bukik, Muaro dan sampai ke Simpang Benteng. “ ujar Dt. Kiraiang

Hal ini dijawab sambil tertawa oleh Mardisun “ bagus itu, berarti kami tidak lagi jauh-jauh bergerilya. Pos-pos yang terpencar-pencar itu menjadi sasaran empuk bagi kami untuk bergerilya yang di mulai dari Pos Tanjuang Anau. Sekarang kami terpaksa bergerilya sampai ke SMP I dekat Pasar “ ujar Mardisun.

Mendengar jawaban Mardisun, Wali Nagari Dt. Kiraiang langsung naik pitam dan marah seraya mengancam “Jika saudara tidak menyetujui Belanda akan membumi hanguskan Nagari Koto Nan Gadang” Ujar Dt. Kiraiang sambil berdiri.

Kemudian kami jawab “ bapak Wali takut dengan Belanda atau takut dengan kami pemuda Gerilya ?. Kami akan tetap mempertahankan dan selalu berjuang untuk mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, walaupun apapun yang terjadi terhadap kami maupun Nagari Koto Nan Gadang yang bapak Wali pimpin.

Darah Syuhada Membasahi Koto Nan Gadang

Dalam cacatan peristiwa sejarah oleh Mardisun, sebuah peristiwa yang tidak bisa dilupakan oleh masyarakat Kenagarian Koto Nan Gadang adalah, pada hari Jumat tanggal 11 Februari 1949 dimana sebelum sholat Jumat serdadu Belanda mengepung dan memasuki Masjid Gadang di Balai Gadang dan menangkap tiga orang pemuda yakni,: Hamdani, Radinas dan Matrusi dan kemudian ditembak di simpang tiga jalan ke Masjid Gadang tersebut darah mulai membasahi bumi Koto Nan Gadang.
Peristiwa ini mengugahmata hati para pemuda dan membangkitkan semangat pantang mundur, selagi hayat dikandung badan yang telah terpatri dalam lbuk hati yang dalam dengan tekad selangkah tak akan mundur setapak berpantang surut, untuk membalas kekejaman Belanda ini. Kegiatan Gerilya semakin ditingkatkan setiap malam dan pemblokiran bahan makanan diperketat, sehingga sebutir beras dan telor tak boleh lewat masuk Kota Payakumbuh.

Gugurnya Pemuda Yang Bertujuh

Pada tanggal 20 Februari 1949 para pemuda Gerilya rapat di sebuat pondok di Munggu Panjang ditengah Sawah Laweh, materi rapat memperkuat organisasi, membangkitkan semangat pemuda serta membagi tugas-tugas. Sebelum rapat berakhir seorang kurir bernama Chaidir memberikan surat undangan dari Wali Nagari Dt. Kiraiang untuk datang sehabis sholat magrib ada kegiatan rapat yang bertempat di sebuah rumah di daerah Balai Jariang untuk membahas bantuan sembako dan kain dari Belanda.

Sebelum sholat magrib di Masjid Arsyad Nan Kodok Mardisun dan kawan-kawan meminta pendapat kepada H.Djakfar apakah mereka akan menghadiri undangan walinagari Dt. Kiraiang atau tidak. Dan H.Djakfar memberikan nasehat sambil menanyai hati dan perasaan kami apabila hatimu berkata jangan hadiri rapat tersebut. Saudara M.Noer berdiri sambil memegang bahu kami dia berkata “ biarlah saya mewakili ikut rapat, dan doakan atas keselamatan kami “ ujar M.Noer.

Dan keesokan harnya sekitar jam 5.30 pagi tangal 21 Februari 1949 Chaidir memangil para pemuda dan Mardisun yang lagi tidur di rumah bergonjong atap ijuk di belakang Masjid Nan Kodok , sambil menangis Chaidir memberitahukan bahwa teman-teman yang hadir dalam rapat semalam di sergap Belanda dan semuanya di tangkap dan ada tujuh orang pemuda Koto Nan Gadang dibunuh oleh Pasukan Belanda dengan jebakan ikut sebagai peserta rapat disebuah rumah adat bertiang dua belas , dekat Mushala lapangan Mangkudu oleh Walinagari Dt.Karaiang bersama pesuruhnya Paduko Dewa.
Saat rapat ketujuh Pemuda tersebut ditanyai dimana keberadaan Mardisun dan kawan-kawanya. Karena tidak mau menjawab mereka ditangkap dan menjadi korban keganasan Belanda dimalam hari tersebut, yaitu : Bahar, Bakar, Syukur, Dt.Reno, Damuri, Andarwenis dan Julius yang tangannya diikat kebelakang dengan sobekan kain sarung Andarwenis langsung digiring kebawah rumah , suasana gelap hujan rinai turun dan suara petir bergelagar seiring dengan letusan suara senapan pasukan kaki tangan Belanda yang menembak ketujuh pemuda tepat dijalan depan makam Pemuda Pejuang Balai Jariang sekarang .

Mendengar berita tersebut para pemuda dan Mardisun tak alang berduka sedih tak terkira, gelap rasanya dunia ini. Kemudian Chaidir melanjutkan pesan dari ibuk bapak Mardisun menyuruh Mardisun bersama adiknya Marlis untuk meninggalkan Nagari Koto Nan Gadang karena orang banyak mencarinya untuk dibunuh.

Setelah mengadakan pertemuan bersama wakil ketua Darisun dan beberapa pemuda di putuskan untuk sementara waktu Mardisun untuk menghilang dari Nagari Koto Nan Gadang sesuai pesan dari orang tua. Dan tiga hari setelah pemeriksaan M.Noer pada tanggal 24 Februari 1949 terdengar kabar bahwa dia di tembak dijembatan Ibuah (Jembatan Ratapan Ibu sekarang) oleh Sastro kaki tangan Belanda.

Peristiwa ini mengugah pemuda dan masyarakat untuk membentuk Pasukan Mobil Teras (PMT) pada akhir bulan Awal Maret 1949 yang di prakarsai oleh Wali Perang Koto Nan Gadang Syamsuar Yahya yang mengantikan Dt.Karaiang yang berpihak kepada Belanda , Wali perang Lubuak Batingkok Junias Janaid, Wali perang Koto Tuo Khatib Bermawi, dan Wali Perang Gurun Dt. Bosa Nan Hitam . Kemudian dilanjutkan dengan adanya Surat Keputusan Gubernur Militer M.Rasyid Pe.Ma./M.P Gubernur Militer No.001/Ist.Rhs tanggal 1 Maret 1949 menetapkan Mardisun (Koto Nan Gadang) sebagai Ketua dari Pemerintahan Darurat Kota Payakumbuh. Wakil Ketua dr. Adnan WD, dan anggota Djufri (Jaksa), Damir Djanid, Zaidar Noerdin dan Chaidir sebagai penghubung. Pasukan Istimewanya tercatat:Rubai, Layat, Hamzah dan Kasuan.

Tercatat pada waktu itu Ketua Pemerintah Darurat Payakumbuh juga sebagai Komandan kompi adalah Mardisun dari Koto Nan Gadang, komandan pertempuran pasukan gerilya Sektor II Payakumbuh Utara M. Sain dari Tanjung Pati dan Darisun dari Koto Nan Gadang. Yang menjadi anggota waktu itu antara lain : Rasyid Dt. Ngiang , Mawi, Rabai ( Koto Tuo), Baini (Koto Tangah), Zamawi (Padang Rantang), Syamsulaini (Tanjung Pati ), Imam Bise ( Pulutan ) dll. Penempatan untuk pleton yang dipimpin oleh M.Sain disekitar Tanjung Pati yang markasnya di Masjid Al Ikhlas di Boncah Pulutan, dan pleton yang dipimpin Darisun di Padang Rantang ( Surau Haji Sulaiman ).

Beberapa hari setelah peristiwa pembunuhan tujuh pemuda, Mardisun berjumpa dengan seorang pemuda bernama Kasuan yang sedang mencari Madisun di Jembatan Lampasi. Setelah bicara berapa lama Kasuan mengaku akan menerima upah sekayu kain belacu dan kain putih apabila berhasil membunuh Mardisun.Kemudian Mardisun berkata “ Sekarang kita telah bertemu, Kasuan bisa bertindak apa saja kepada saya untuk mendapatkan hadiah. Apabila tidak punya senjata boleh pilih senjata saya apakah pisau, granat tangan atau pistol. Kasuan menolak sambil menangis bersimpuh dihadapan Mardisun. Kemudian Kasuan meminta bergabung dengan Pemuda Gerilya.

Lalu Mardisun berkata” apabila mau bergabung berjuang bersama Gerilya harus lulus dulu ujian. Pertama , mengawal jembatan Lampasi dengan mempergunakan granat tangan pada mala mini, sebaliknya bila saudara Kasuan ingin mendapatkan hadiah lakukan niat saudara, saya tidur di sebuah pondok ditengah sawah tidak jauh dari Jembatan Lampasi ini. Besok pagi saudara harus membangunkan saya dan melaporkan apa kejadian yang ditemui. Ujian terakhir adalah, Kasuan di perintah mengaranat Belanda di Simpang Benteng. Tugas terakhir ni dilaksanakan dengan baik, melempar musuh dengan granat tangan di Kebun Saus Simpang Benteng (Kantor Pertanian). Kasuan tercatat sebagai anggota Gerilya yang pemberani.

Karena tidak maunya Mardisun dan pasukannya mengikuti perintah Wali Nagari Dt.Karaiang dan untuk tunduk kepada Belanda, maka Belanda semakin mengganas. Mereka yang dicurigai dan ditangkap itu dibawa ke kator ID. Disana mereka disiksa dan dipaksa untuk menceritakan dimana pasukan Republik, berapa jumlah, bagaimana persenjataannya, siapa komandannya. Siapa tokoh pemerintah, dimana mereka berada. Siapa dalam kota ini membentuk Republik atau yang anti Belanda ; serta dihujani dengan berbagai pertanyaan lainnya.

Banyak diantara mereka yang tutup mulut, sekalipun mereka disiksa dengan kejam, dipukul dengan popor senapan, distrom dan sebagainya.Mereka memilih mati dari pada berkhianat kepada Republik Indonesia.Mereka inilah yang kemudian dibawa ke Jembatan Batang Agam. Disinilah mereka ditembak mati.

Ada diantara mereka yang disuruh naik ke atas tembok, berdiri menghadap kearah, lalu mereka diberodong dari belakang jatuh dari ketinggian lebih kurang 8 meter terhempas keras pada tembok batu air terjun. Kemudian mayat mereka dibawa pusaran air, berputar-putar ditempat itu untuk beberapa lama, lalu hanyut dibawa arus ke hilir.
Pembunuhan kejam ini sering dilakukan sore hari menjelang senja, disaat kota mulai sepi, pintu-pintu mulai ditutup, orang tidak berani keluar lagi dan jam malam hampir datang. Ada juga yang dibawa kesana subuh-subuh, seperti yang dialami Khaidar Anwar Dt. Rajo Imbang, (eks anggota DPRD Tk. II Kodya Payakumbuh).

Menuntut Balas

Setelah mengetahui sebagai dalang pembunuhan dan pembakaran rumah-rumah di Koto Nan Gadang adalah Dt.Karaiang bersama pesuruhnya Paduko Dewa. Mardisun bersama 7 orang pemuda dan satu orang wanita bernama Anam istri dari Darisun bertekat membalas dendam dan malam 24 Februari 1949 mengadakan rapat di Markas di Tanjuang Anau serta memutuskan untuk menyerang dan menembak Dt.Karaiang yang telah menjadi kaki tangan Belanda yang membunuhi para pemuda dan membakar rumah-rumah di Koto Nan Gadang.

Perintah untuk dilaksanakan di siang hari, karena  malamnya Dt.Karaiang bersama anggotanya tidur bersama Belanda. Pada tanggal 25 Februari 1949 segala rencana telah diatur ditambah bantuan dua orang Pemuda dari Pulutan Tanjung Pati, sambil menyandang senjata dengan berkelumun kain sarung, sejak pagi subuh perjalanan Dt.Karaiang telah diintai sejak keberadaanya masuk kantornya di Balai Baru. Menjelang jam 12.00 siang ditugasi salah seorang pemuda untuk mengintip apakah Dt.Karaiang masih berada dalam kantornya. Kenyataan dia telah meninggalkan kantornya lewat pintu belakang. Kemudian dilacak dimana keberadaan mereka, ditemukanlah di rumah salah satu istrinya di Balai Gadang mereka akan makan siang bersama stafnya Paduko Dewa.

Para Pemuda pejuang bergerak, terjadilah perlawanan dan perkelahian antara Dt.Karaiang bersama stafnya dengan sepuluh orang pemuda yang menutupi wajahnya dengan kain sarung, Paduko Dewa kepalanya luka sambil berteriak minta tolong lari ke arah Simpang Benteng Markas Belanda. Sejenak kemudian panser Belanda lewat, kemudian para pemuda pejuang menyelamatkan diri arah Tanjuang Anau dan bersembunyi di semak-semak di pinggir Batang Lampasi. Esoknya baru pulang ke rumah masing-masing untuk menjelaskan kepada orangtua tentang peristiwa ini. Rakyat dan masyarakat banyak yang tidak mengerti kenapa Dt.Karaiang di serang dan ditembak oleh Pemuda, karena banyak masyarakat buta dalam keraguan terkena bujuk rayu oleh Dt.Karaiang.

Setelah sholat Isha tangal 26 Februari 1949, diperoleh kabar dari Chaidir yang menyampaikan kabar dari dr Adnan WD Kepala Rumah Sakit Payakumbuh, bahwa Dt. Karaiang salah satu kakinya hancur terkena peluru dan dia tidak mati. Dan sampai hari tuanya Dt.Karaiang menderita menerima kutukan dari masyarakat Koto Nan Gadang.

Bulan Maret 1949 Belanda memperkuat pasukannya di Payakumbuh dan yang banyak sasaran adalah Nagari Koto Nan Gadang yang rumahnya di rampok dan pemudanya di bunuh dan perempuannya di perkosa apabila ditemuai oleh kaki tangan Belanda. Maka masyarakat Nagari Koto Nan Gadang banyak mengungsi keluar kota ada ke Nagari Batu Payuang Luhak, Batu Balang Kec. Harau dll sehingga Nagari Koto Nan Gadang banyak rumahnya yang kosong ditinggalkan pemiliknya untuk menyelamatkan diri dari kaki tangan Belanda. Dan Nagari Koto Nan Gadang adalah arena pertempuran antara pasukan Gerilya PDRI dengan pasukan kaki tangan Belanda. Tiga sungai yang menjadi saksi kekejaman Belanda yakni; Batang Agam, Batang Lampasi dan Batang Sinamar sampai bulan Juli 1949.

Asal Nama Jembatan Ratapan Ibu

Belanda meninggalkan Payakumbuh 3 Desember 1949, setelah serah terima dengan Pemerintah RI yang diwakili oleh Mardisun. Semenjak itu pemerintah Kabupaten 50 Kota kembali ke Kota Payakumbuh. Demikain juga para pengungsi, mereka kembalike kota dengan perasaan gembira bercampur haru. Karena banyak diantara mereka yang sudah kehilangan rumah tempat tinggal dan sebagainya. Banyak kampung kampung yang dibakar Belanda, seperti d Koto Nan Gadang, buah dan Balai Panjang.

Payakumbuh mulai bertambah ramai, banyak orang-orang desa datang ke Kota. Dan banyak pula dantara mereka yang sengaja datang untuk mencari anak, suami atau keluarganya yang dtangkap Belanda dan dbawa ke kota. Mereka mendapat keterangan bahwa sebagianbesar yang diatngkap oleh Belanda, dibunuh di Jembatan Batang Agam.

Meraka datang ke jembatan itu, namun mereka tidak akan melihat jasad keluarganya yang telah gugur. Hanya dijembatan itu banyak ibu-ibu mencurahkan segala kesedihannya. Mereka meratap menangisi keluarga mereka yang telah tada. Dijembatan itulah segala duka nestapanya dicurahkan, sambil berdoa kepada allah yang Maha Kuasa.

Demikianlah peristiwa yang sering dilihat orang yang lalu lintas dijembatan itu, sehingga akhirnya jembatan tu disebut orang jembatan Ratapan Ibu.

Dari tahun ketahun nama Ratapan Ibu itu tambah melekaat pada Jembatan Batang Agam. Dan pada tahun 1959 pada masa pemerintahan Bupati KDH Kabupaten 50 Kota, Insp.Pol.S.M.Djoko dalam rangka Peringatan Hari Pahlawan ke-14 nama Jembatan Batang Agam diresmkan menjad Jembatan Ratapan Ibu.

Mengingat Jembatan Ratapan ibu mempunyai nilai sejarah dan perjuangan dalam menegakan kemerdekaan khususnya di daerah ini, maka motif Jembatan Ratapan Ibu diabadikan dengan mencantumkannya dalam lambang Daerah Kota Payakumbuh.

Obyek Wisata Yang Bernilai Sejarah

Pemerintah Kota Payakumbuh berusaha menata dan membenahi Jembatan ratapan Ibu untuk dijadikan Obyek wisata yang bernilai sejarah. Disebelah selatan jembatan ini ini dibangun sebuah taman, dimana terdapat Monumen ratapan Ibu, dalam bentuk seorang ibu yang sedang menunjuk kejembatan dan air terjunnya, dimana puluhan pemuda para syuhada telah gugur dalam membela Tanah Air Bangsa Indonesia.

Monumen Ratapan Ibu yang modelnya diperlombakan dan terpilih seorang gadis bernama Indriati dari Nagari Batu Payung yang memakai pakaian persis seperti yang ada pada patung yang kita lihat sekarang ini.

Monumen ini dibangun oleh Pemerintah Daerah dengan dana yang berasal dari sumbangan H.Marlius alm, dan diresmikan oleh Gubernur Tk.I Sumatera Barat H.Azwar Anas , dalam rangka Peringatan hari Pahlawan 10 Nopember ke-34, tahun 1982. Sekarang ini penataan taman semakin cantik dan emakin menarik sebagai obyek wisata yang bernilai sejarah.

Belum banyak yang mengenal sejarah Ratapan Ibu ini yang merupakan peringatan buat generasi yang mendatang bahwa Kota Payakumbuh pernah menjadi arena pertempuran pada agresi Belanda II dan Kenagarian Koto Nan Gadang pernah menjadi Nagari Pejuang yang mengorbankan 30 orang para syuhada dan menghanguskan lebih 371 rumah selama rentang waktu Desember 1948 sd Desember 1949 hal ini terlihat di tulisan yang ada ditugu pada halaman Kantor KAN Koto Nan Gadang tersebut.

Ditugu tersebut tertulis korban clasch ke II di Koto Nan Gadang 23 Desember 1948 sd 17 Desember 1949 yaitu : Hamdani, Radinas, Matrusi, Lamazi, Andarwenis, Bahar,Dt.Reno, Jalius, Damiri, Syukur, M.Noer, A.Bakar, A.Bakar, Saini, Mahyudin. M.Nur, Matani, Adnan,Rosmah, Damuhar, Munir, Bahar. St.R.Lelo, Syamsibar, Nursal, Danus. Damiri, A.Muis, Dinur, Kamaru. Dan dibawahnya tertulis Rakyat 50 Orang dan rumah 371 buah. Jatuhnya korban dan banyaknya rumah terbakar oleh pasukan Belanda,

Akankah Pemerintah Kota Payakumbuh akan tetap mengenang setiap peristiwa sejarahnya seperti yang dilakukan di Kabupaten Limapuluh Kota yang mempunyai Perbub dan setiap tahun selalu diperingati oleh anak nagari melalui kegiatan seminar, napak tilas dan cerdas cermat buat anak sekolah
Saiful Guci- Pulutan 2 Juli 2019.

Sumber :
1. Harian Singgalang, Minggu 18 November 1990, Catatan C. Israr
2. Catatan Mardisun, Peristwa Sejarah Pemuda Gerilya Antara Koto Nan Gadang- Payakumbuh. 1995.
3. Luak Limopuluah Basisnya PDRI oleh Saiful.SP, 2008.