Search

TAN MALAKA PULANG


Bisakah menerapkan pemikiran Tan Malaka untuk masa sekarang ini pada Alam Minangkabau? Selama hidupnya Tan Malaka memang belum sempat melakukan eksperimen pengalaman merantaunya sebagai Datuk yang menuntun kaumnya pada alam Minangkabau karena disibukkan lebih dahulu menerapkannya untuk “Menuju Republik Indonesia Merdeka”.

Alangkah menariknya melakukan uji coba pengalaman Merantau Tan Malaka diterapkan pada Alam Minangkabau pada Zaman Otonomi Daerah saat ini.
Bagaimana caranya?

Mengembalikan buah pikiran Tan Malaka yang ditulis pada buku-bukunya pada umumnya dan Madilog pada khususnya sebagai Thesis yang kemudian akan menimbulkan Anti Thesis pada kondisi Alam Minangkabau saat ini, sehingga kemudian akan melahirkan Synthesa yang baru dan segar. 
Ini seperti menerapkan thesis Rudolf Mrazek dalam artikelnya (1972) yang mencoba mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik” pada tokoh Neo di film Matrix.

Sebagai anti-thesisnya Personalitas politik secara fisik adalah Alam Pikiran Tan Malaka. Tan Malaka sewaktu hidup vs Alam Pikiran Tan Malaka  setelah meninggal yang tersimpan pada buku-bukunya.
Yang dimaksud pikiran Tan Malaka disini adalah ide mengenai Realitas seperti di Film Matrix. Atau dengan kata lain penerapan Alam pikiran Tan Malaka seperti alam pikiran Neo dalam Film Matrix. Jadi walaupun secara fisik Tan Malaka sudah mati, tapi pikirannya masih hidup.
Bagaimana struktur Alam Pikiran Tan Malaka ketika masih hidup?

Tipikil masyarakat Dunia Jajahan pada abad ke 20. Melalui struktur pengalaman masyarakat Dunia Jajahan kala itu yang mempunyai perspektif bahwa modernitas dan falsafah Kolonialisme memandang stabilitas sebagai esensiil buat mencapai dan mempertahankan perpaduan masyarakat.
 
Alam Kolonialisme dilihat melalui kacamata “stabilitas” yang selalu mampu menemukan keamanan dalam suasana imperialisme. Kemampuan kolonialisme bertahan melawan penentangnya terletak kekakuannya menutup diri dalam menentang proses kemerdekaan.

Dari segi bentuk, kolonialisme  dipertahankan agar tetap tidak berubah, tetapi unsur-unsur baru dari luar yang dianggap baik dicegah dan dikeluarkan dari dalamnya. Tujuannya tentu saja untuk mempertahankan Indonesia sebagai koloni jajahan.

Dalam hal ini kaitan yang erat antara Komunisme dan Pan Islamisme dapat dilihat melalui perspektif itu. Perspektif itu juga dipegang, atau dipakai sebagai alasan rasionil, dalam memberikan respons terhadap kemandirian adat dan kebudayaan lokal.

Demikianlah analisa tentang masyarakat Kolonial abad 20 ketika itu.Yang menarik perhatian ialah masyarakat Minangkabau berhasil mengidealisasikan adat dan falsafah hidup mereka melalui perspektif dinamisme dan anti parokhialisme itu, sehingga bukan saja tampak relevan dengan tetapi juga mendorong proses kemajuan  atau modernisasi sebagai antithesis masyarakat kolonial yang bisa direkayasa.

Tidaklah mengerankan kalau kaum cendikiawan Minangkabau berpendidikan Barat  pada pertukaran abad itu terundang untuk menerima dan memegang visi itu, terutama karena melihat bahwa alam Minangkabau membuka diri terhadap perubahan-perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, tetapi pada waktu yang sama mampu pula mempertahankan karakter dan bentuknya yang  asli.

Lantas mampukah kaum cendikiawan Minangkabau hari ini mampu mengulangi kembali apa yang pernah dilakukan Tan Malaka dalam menghadapi tantangan zaman?
Oleh karena itu, memasukkan buah pikiran Tan Malaka ke dalam alam atau masyarakat sekarang, tidaklah berarti merusak atau memperlemahkannya, melainkan justru memperkuat dan memperkayanya.

Pada waktu yang sama proses dinamis itu dengan sendirinya pula menyingkirkan elemen-elemen yang terbukti lapuk atau usang dari alam itu sendiri. Logikanya, alam atau adat Minangkabau mempunyai dinamika sendiri untuk mengambil yang baik dari luar dan mempertahankan yang baik di dalam sekaligus  menyisihkan  yang buruk dari dalam.

Dalam dinamika itulah kekuatannya Alam Minangkabau dan Cara berpikir Madilog yang telah diajarkan Tan Malaka terletak, sehingga menjadikan dirinya tetap relevan dari zaman ke zaman.
Itulah landasan atau dasar struktur pengalaman Merantau Tan Malaka pada waktu hidupnya (Baca Otobiografinya Dari Penjara ke Penjara) sehingga Sikap, tingkah laku politik serta jalan pemikirannya amat diwarnai oleh itu.

Proses pemasukan unsur-unsur luar dan baru dari dunia sekaligus mempertahankan unsur lama dari adat terutama dimungkinkan oleh konsep “rantau” dan “alam”. Pergi merantau dan Mudik ke Alam, menurut visi falsafah Minangkabau itu, membuka mata warganya buat mengenal dunia luar yang luas di mana mereka akan menemui hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang yang mengubah dunia alam Minangkabau.

Karena diterapkan di dalam alam Minangkabau, Alam Pikiran Tan Malaka akan terlihat peranannya secara lebih jelas dalam konteks kepulangannya dari rantau.

Dengan lain perkataan, betapa jauh pun Tan Malaka pergi dan lama merantau, pada suatu waktu  Alam Pikirannya akan kembali ke adat Minangkabau dengan segala bawaanya - harta ataupun ilmu.
Alam Pikiran Tan Malaka, karena sudah luas pengetahuannya, diharapkan akan memainkan peranan sebagai juru penerang sebagi perannya sebagai seorang Datuk atau guru sehingga masyarakatnya bisa ikut menerima apa yang baik dari rantau dan melihat, lalu membuang, apa yang buruk dalam alam mereka sendiri.

Di sini jelas terlihat bahwa pengertian pulang merantau bukan semata mambawa uang dan harta, melainkan juga mengajarkan ilmu. Ditarik lebih jauh, di samping pulang merantau secara fisik, pemikiran seseorang (dalam hal ini Tan Malaka sebagai cerdik pandai atau cendikiawan) juga bisa mudik. Berdasarkan batasan ini, Alam Pikiran adalah wujud seorang pemudik, baik secara fisik maupun secara mental.

Kedudukan pemudik yang kembali dari rantau begitu mulia dalam masyarakatnya, dan juga karena landasan struktur pengalaman Tan Malaka sendiri sebagai seorang Datuk memperkuat atau membenarkan itu, maka “Alam Pikiran Tan Malaka” bisa diperlakukan juga sebagai guru, pembaharu  sekaligus penjaga masyarakatnya.

Jadi Tan Malaka bukan saja dihormati secara fisik ketika masih hidup, tapi buah pikirannya juga bisa mendapat kehormatan ketika “kembali” ketika orangnya sudah meninggal.

Pulang pertama Alam Pikiran Tan Malaka ialah ketika pulang ke tempat lahirnya di Pandan Gadang Suliki, tempat alam asalnya sebagai Datuk oleh kaum atau sukunya. Kaumnya bisa memberikan pujian kepada Alam Pikiran Tan Malaka sebagai kepala adat, tapi juga menerapkannya pada kondisi kekinian.  Pulang yang amat lama bagi Alam Pikiran Tan Malaka sebagai seorang Datuk.
Kalau percobaan pulang “Alam Pikiran Tan Malaka” ke Alam Pandan Gadang berhasil, ruang-lingkup alamnya berubah meluas menjadi alam Minangkabau.

Dengan lain perkataan, visi Alam Pikiran Tan Malaka dikembangkan untuk memahami dan menginterpretasikan permasalahan-permasalahan masyarakat sekarang. Titik tolak dari pemikiran-pemikirannya adalah visi atau perspektif yang berasal dari Madilog.

Visi Madilog menuntut kepada sukunya, terutama kaumnya, untuk mengkontraskan atau memperbandingkan dunia rantaunya (Aslia) dengan realitas alam asalnya, karena hanya dengan jalan begitulah dia akan mampu melihat mana yang baik dan mana yang buruk dari keduanya. Hal itu mengundang orang untuk berfikir kritis, dan itu bisa terjadi dengan tajam kalau ada refrensi yang bisa dipakai sebagai pembanding. Negri tempat merantau Tan Malaka adalah refrensi itu.

Dari situ dapat pula dilihat bahwa visi itu sebenarnya menekankan cara berfikir dialektis, dan oleh karena itu kontradiksi atau konflik dianggap wajar, terutama karena difahami bahwa suasana kontradiksi atau konflik itu akan selalu dapat diintegrasikan atau diselesaikan secara memuaskan atau harmonis melalui proses pemilihan mana yang baik dan mana yang buruk.

Keberhasilan dari pemilihan itu tergantung pada akal, yaitu kemampuan berfikir secara rasionil. Kalau begitu, visi itu mendorong orang untuk berfikir secara kritis, dinamis atau dialektis.
Cara berfikir yang dikembangkan Alam Pikiran Tan Malaka, yang dalam kamusnya dikenal dengan “thesis-antithesis-synthesis” tampak sesuai sekali dengan visi di atas.


Alam Pikiran Tan Malaka adalah  Thesis yang berkonflik dengan antithesis Alam Pikiran Minangkabau saat ini.

Rantau pada masa kolonialisme pada jaman Tan Malaka hidup sebagai thesis berhadapan dengan Alam Minangkabau sekarang sebagai antithesisnya.

Dari situ akan lahirlah synthesis-hasil pemikiran atau idealisme baru yang mendorong kaum dan sukunya untuk mengadakan perubahan-perubahan buat perbaikan nasibnya.
Tan Malaka mengembangkan cara berfikir begini secara luas dalam bukunya Madilog, kependekan dari Materialisme, Dialektika dan Logika yang ditulisnya dalam tahun 1942-1943.

Pada esensinya, Madilog dimaksudkannya sebagai suatu “cara berfikir” baru yang dapat dipakai untuk memerangi cara berfikir lama yang amat dipengaruhi oleh dunia mistik atau takhyul yang menyebabkan orang menyerah kepada alam.


Lantas mengukur dengan memakai “Madilog” pada masyarakat sukunya hari ini seberapa besar perbedaannya.Tan Malaka mengakui bahwa cara berfikir baru yang diperkenalkannya ini banyak berasal dari dunia Barat yang rasionil, logis dan Marxis-Leninist, maka mengembalikan Alam Pikiran Tan Malaka ini ke tradisi sebagai batu ujian.

Memang Alam Pikiran Tan Malaka banyak sekali memakai terminologi Marxist-Leninist. Tetapi, hal  yang  selalu ditekankannya berulang kali adalah kekuatan ide sebagai perangsang perubahan sosial. 
Apa yang akan terjadi kalau cara berpikir Madilog ke masyarakat pada hari ini?

Konsep Tan Malaka tentang materialisme adalah “cara berfikir” yang realistis, pragmatis dan fleksibel. Orang yang berfikir dengan cara materialisme ini terutama memusatkan perhatiannya pada apa yang dekat dengannya, apa yang mempengaruhi kehidupannya secara langsung. Orang yang begitu melandaskan kegiatan atau hasil karyanya berdasarkan serangkaian bukti yang nyata, yang sudah dialami dan dapat diuji.

Pengertian materialisme Tan Malaka adalah cara berfikir yang terpusat pada masalah bagaimana memperbaiki atau merubah kehidupan duniawi secara realistis dan pragmatis.
Konsep dialektika, yang dimaksudkannya adalah memerangi cara berfikir pasif atau dogmatis. Cara berfikir atau dogmatis ini bertalian dengan kepercayaan masyarakat yang masih dalam terhadap kekuatan gaib (mistik), dan itu menyebabkan mereka tidak percaya kepada kemampuan intelektuil dan kekuatan mereka sendiri untuk merubah dunia materi.

Tan Malaka mengecam habis cara berfikir dogmatis sebagai menjerumuskan masyarakat ke dalam penipuan diri sendiri, kepasifan, mentalitas  budak, dan itulah yang mengakibatkan takluknya dunia Timur kepada Barat.

Sebaliknya dia menyanjung cara berfikir dialektis - yang antara lain dimaksudkan sebagai cara berfikir dinamis – karena ini memungkinkan orang mengembangkan pemikiran atau intelektualitasnya secara terus menerus.

Jadi kunci dari pengertian dialektika Tan Malaka adalah berfikir aktif dan terus menerus, atau berfikir dinamis. Tetapi berfikir secara dinamis itu harus berlandaskan akal atau logika.

Bagaimana jika penekanannya dibalik yaitu materialisme historis sebagai kekuatan dinamis dalam pertentangan kelas sebagai perubahan sosial seperti yang pernah terjadi pada Pemberontakan Silungkang?

Untuk menyatakan bahwa hanya Alam pemikiran Tan Malaka yang bermanfaat bagi adat dan falsafah Minangkabau mungkin terasa amat berlebihan atau keterlaluan sebagai pendorong cara berfikir dinamis itu dan anti dogmatis. Perlu dipelajari seperti apakah Alam pemikiran masyarakat hari ini sebagai hasil synthesa baru.

Dari dunia Barat yang banyak diketahui Tan Malaka dalam perantauan, bukan saja dari aliran Marx dan Lenin, tetapi juga dari dinamika yang diperlihatkan oleh masyarakat Amerika dan Jerman.
Sungguhpun begitu, visi adat dan falsafah Minangkabau seperti di atas, mungkin membekali dia dengan suatu perspektif dasar yang tajam sehingga memungkinkannya untuk selalu tetap kritis terhadap sesuatu yang baru ditemuinya di dunia luar. Pertemuannya dengan cara berfikir dialektis di Barat mungkin telah memperkuat atau bahkan memperluas perspektif tadi.

Hal ini juga bisa diterapkan untuk kritis pada Alam Pikiran Tan Malaka itu sendiri.
Yang amat penting mungkin ialah bahwa struktur pengalaman Minangkabau yang dibawa Tan Malaka itu tidak menjadikannya merasa rendah diri terhadap pemikir-pemikir besar di Barat, tapi bisa juga diterapkan pada Alam Minangkabau itu sendiri sehingga Tan Malaka tidak cuma tinggal sebagai filsuf yang menafsirkan dunia tapi juga berperan sebagai Datuk yang mengubah dunia.

Begitu juga dengan Generasi Muda di Alam Minangkabau itu sendiri, tentu belajar dari karya-karya Tan Malaka bukan sebagai murid yang dogmatis saja, tetapi sebagai seorang intelektuil  yang kritis. Oleh karena Tan Malaka sendiri tidak pernah menjadi pengikut pemikiran seseorang, apakah itu Marx atau  yang lain, secara dogmatis.

Bahkan  kalau kita ikuti cara berfikir dialektis Madilog, yang biasanya dikaitkan Tan Malaka sendiri tentunya juga menentang dogmatisme, tidak perduli  apakah yang dijadikan dogma itu adalah hasil pemikirannya sendiri. Tan Malaka yang sejati, menginginkan kebebasan berfikir dan oleh karena itu mengutuk dogmatisme.

Segi lain dari adat  dan falsafah Minangkabau yang tampak berpengaruh pula pada Tan Malaka ialah tuntutan untuk selalu melihat pada realitas yang ada di alam tempat asalnya sebagai refrensi pembanding. Sebagaimana telah dikemukakan, pengertian alam di sini tentu bisa berubah dan meluas sifatnya.

Dalam pemikiran-pemikirannya, Tan Malaka boleh dikatakan tidak pernah lupa kepada refrensi pembanding itu. Pengetahuannya yang cukup dalam tentang masyarakatnya, sebagai refrensi, menjadikan dia semakin bertambah kritis  terhadap dunia luar. Itu memberi kekuatan kepadanya untuk tidak mudah terpukau dengan ide atau pemikiran orang lain. Ia tetap mempunyai untuk mengembangkan dan mengemukakan pemikirannya sendiri.

Oleh karena itu, generasi muda hari ini juga dituntut untuk dapat dikatakan bertuan kepada dirinya sendiri, baik dalam tindakan politik maupun dalam berfikir. ( Ruly Harmadi)