Saatnya Peduli, Bukan Menghakimi, Dukung Pejuang TB dengan Empati
Selasa, Juni 03, 2025
Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat, Universitas Gadjah Mada
Tuberkulosis (TB) masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, baik di tingkat global maupun nasional. Indonesia termasuk negara dengan beban TB tertinggi di dunia. WHO (2024) melaporkan bahwa seperempat populasi dunia telah terinfeksi TB dan Indonesia menyumbang lebih dari satu juta kasus pada tahun 2023. Di balik angka-angka tersebut, terdapat tantangan sosial yang tidak kalah berat yaitu stigma terhadap orang yang hidup dengan TB.
Sumatera Barat, sebagai salah satu provinsi di Indonesia, tidak lepas dari beban TB. Pada tahun 2022, tercatat sebanyak 22.944 kasus TB di provinsi ini. Meski cakupan pengobatan mencapai 89%, penemuan kasus baru masih tergolong rendah yaitu hanya 54%, jauh dari target yang diharapkan. Berdasarkan Riskesdas (2018), prevalensi TB paru di Sumatera Barat mencapai 0,31%, dan menurut data BPS Sumbar (2019), TB merupakan penyakit menular dengan jumlah kasus terbanyak kedua, yaitu 11.790 kasus.
Tingginya beban TB ini diperparah dengan angka kesembuhan yang belum memenuhi standar nasional. Pada tahun 2020, tingkat kesembuhan TB di Sumbar baru mencapai 76,9%, masih di bawah target nasional yaitu 85%. Bahkan jumlah kasus baru TB terus meningkat, dari 5.423 kasus pada 2019 menjadi 7.262 kasus pada 2020. Kota Padang mencatat angka tertinggi dengan 1.650 kasus (23%), disusul Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Agam.
Fenomena di balik perjuangan melawan penyakit ini, para pejuang TB masih harus menghadapi satu tantangan besar lainnya: stigma dari lingkungan sekitar. Mereka sering kali diperlakukan seolah-olah menjadi ancaman, dijauhi, bahkan dianggap memalukan. Banyak dari mereka yang enggan memeriksakan diri atau menyembunyikan kondisi kesehatannya karena takut dikucilkan. Akibatnya, proses pengobatan terganggu dan potensi penularan pun meningkat. Kita perlu menyadari bahwa TB bukanlah aib, melainkan penyakit infeksi yang dapat disembuhkan sepenuhnya dengan pengobatan yang tepat dan teratur. Menghakimi dan menjauhi justru akan memperburuk kondisi, baik bagi individu maupun masyarakat luas. Sebaliknya, dukungan emosional dan sosial berperan besar dalam kesembuhan dan pencegahan penularan.
Sudah saatnya kita beralih dari sikap menghakimi menjadi sikap peduli dan penuh empati. Para pejuang TB bukanlah sosok yang harus dijauhi, melainkan individu yang membutuhkan uluran tangan, pemahaman, dan dukungan moral. Menyebarkan informasi yang benar, menghindari mitos yang menyesatkan, serta memperkuat solidaritas sosial adalah langkah kecil yang bisa membawa dampak besar. Pemerintah bersama tenaga kesehatan telah menyediakan berbagai layanan gratis seperti pemeriksaan, pengobatan, hingga pendampingan. Namun semua upaya ini tidak akan optimal jika masyarakat masih memelihara stigma dan prasangka.
Sebagai warga Sumatera Barat yang dikenal menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dan kebersamaan, sudah seharusnya kita menjadi bagian dari solusi. Dukungan para pejuang TB di sekitar kita, bukan dengan penghakiman, tetapi dengan empati, perhatian, dan penerimaan. Mari ciptakan lingkungan yang aman dan suportif agar mereka bisa sembuh, bangkit, dan kembali berkontribusi bagi masyarakat.
Hilangkan stigma, bangun empati, dan mari bersama wujudkan Sumatera Barat yang lebih sehat dan bebas TB!