Search

Sekilas Perjalanan Ibadah Haji Dari Masa Kemasa Di Nusantara

Jemaah Haji. Sumber: esqtours

Salingkaluak, Bagi umat Muslim, Menunaikan Ibadah Haji merupakan salah satu rukun Islam yang ke 5.

Rukun Islam yang berbunyi, Pergi Haji (Bagi yang Mampu)

Pergi Haji ke Mekkah adalah kewajiban umat muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Pergi haji wajibnya dilakukan satu kali seumur hidup.

Allah berfirman dalam surat Ali-Imran: 97:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

"...mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS. Ali-Imran: 97)

Tentang perjalanan menjalankan ibadah haji oleh masyarakat Indonesia dari dahulu tidak memiliki catatan pasi siapa dan darimana mereka yang pertama kali menunaikan ibadah haji ini ke tanah Suci Makkah. 


Belum ada rekam sejarah yang bisa memastikan kapan tepatnya dan siapa yang pertama kali melakukan perjalanan haji di Nusantara. Dalam beberapa catatan sejarah, orang-orang nusantara diperkirakan telah mendarat di Makkah pada awal abad 12. Akan tetapi, perjalanan mereka ke tanah Makkah tidak dalam rangka melakukan perjalanan haji, melainkan untuk kepentingan perdagangan.
Menurut Schrieke yang dikutip oleh Azyumardi Azra, orang-orang Melayu-Indonesia sudah terlihat kehadirannya di dekat barat laut India sejak awal abad ke-12. Schrieke juga menyatakan pada tahun 1440 M, Abdul al-Razzaq menemukan orang-orang Nusantara di Hormuz, begitu pula yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah bahwa ia menemukan orang-orang Jawa (Nusantara) di antara kalangan pedagang asing di Kalikut, pantai Malabar pada tahun 1346 M. seperti tertulis diakun Lontar.id
Sementara itu wesaltravel.id mencatatkan dalam web mereka perjalanan Jamaah Haji dari negeri ini awalnya dengan menggunakan kapal laut yang berlayar dengan tujuan dagang. Juga perjalanan Umat Muslim Nusantara ini ketanah Suci Makkah tidak semata menunaikan ibadah haji pada masa itu. Banyak juga yang datang ke Makkah untuk menuntut ilmu atau memperdalam ilmu tentang Agama Islam. Dan sekembali dari Makkah ilmu yang didapat di syiarkan di tengah masyarakat Nusantara ini. 

Baca Juga: Balubus Dengan Kemasyuran Tuan Guru Syekh Muda Abdul Qadim Belubus
Banyak ulama ulama negeri ini yang tersohor pernah belajar di Makkah dan bahkan ada yang juga menjadi guru di Masjidil Haram. Seperti yang dari Ranah Minang Syech Katib Alminangkabawi. Murid Murid Beliaupun cukup dikenal dalam syiar Islam diNusantara. Baik di Sumatera maupun pulau pulau lainnya dinegeri ini. 
Perjalanan Naik Haji di Indonesia banyak tercatat dalam sejarah semenjak masa Kolonial. Karena dari masa itu mulai ada pemberlakuan aturan buat yang ingin berangkat ketanah Suci Makkah. Aturan dibuat oleh Kolonial tidak lebih karena takut akan perlawanan dari masyarakat Nusantara usai mereka pulang dari Makkah. Sebab tak lain banyak masa itu ke Makkah menuntut Ilmu Agama sambil menunaikan ibadah Haji. Sejarah mencatat perjuangan melawan kolonial penjajah dulu pada umumnya digerakkan para Ulama ulama yang kharismatik. 
Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia 1945, baru di tahun 1950 pengurusan Jamaah Haji diurus oleh Negara. Karena sebelum tahun tersebut situasi negara masih belum stabil akibat Belanda masih ingin menancapkan kuku kolonialisnya di negeri ini. 
Ibadah haji untuk jemaah Indonesia pun pernah dihentikan pada 1947 berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh pimpinan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), KH Hasyim Asj’ari, menyusul situasi genting di Indonesia pasca kemerdekaan.
21 Januari 1950 lahirlah Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (YPHI). Yang pengurusnya berasal dari tokoh dan pemuka Islam dari berbagai organisasi/golongan. 
Seiring berjalannya waktu terjadi pembenahan sistem pemerintahan yang berpengaruh pula terhadap penyelenggaraan haji. Yakni, dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag). Selanjutnya struktur dan tata kerja organisasi Menteri Usaha haji dan tugas penyelenggaraan ibadah haji di bawah wewenang Direktur Jenderal Urusan Haji, termasuk besarnya biaya, sistem manajerial dan bentuk organisasi yang kemudian ditetapkan dalam keputusan Dirjen Urusan Haji Nomor 105 tahun 1966.
Pada masa reformasi, pemerintah membuat aturan baru yang dijewantahkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999. Isinya adalah penyelenggaraan ibadah haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan dan perlindungan yang sebaik-baiknya melalui sistem dan kepengurusan penyelenggaraan yang baik, agar perlaksanaan ibadah haji dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan nyaman sesuai dengan tuntutan agama, serta jamaah haji dapat melaksanakan ibadah secara mandiri sehingga memperoleh haji mabrur. 
Dengan berbagai pertimbangan, pemerintah kemudian merevisi UU nomor 17/1999 dengan UU nomor 13/2008 yang menegaskan bahwa Pemerintah dalam hal ini Depag masih menjadi Operator penyelenggaraan ibadah haji Indonesia. Hal itu tertuang jelas dalam Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi
“Pemerintah sebagai penyelenggara Ibadah Haji berkewajiban mengelola dan melaksanakan Penyelenggaraan Ibadah Haji.”
 Pemerintah membentuk PT Pelayaran Muslim sebagai penyelenggara haji pada 1952. Pada tahun yang sama, akses jalur udara dari Indonesia menuju Mekkah pun resmi dibuka.
Pada 1975, tidak ada lagi jemaah haji Indonesia yang menggunakan kapal laut untuk berangkat ke Mekkah.
Meski demikian, baru pada 1979, Menteri Perhubungan meniadakan pengangkutan jemaah dengan kapal laut dan menetapkan pesawat sebagai transportasi satu-satunya menuju Tanah Suci.
Pihak swasta kembali diizinkan pemerintah beroperasi untuk pemberangkatan haji pada 1982. Dan pada 1999, dikeluarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 yang mengatur penyelenggaraan ibadah haji, termasuk perlindungan, pelayanan, dan pembinaan jemaah haji.
Pada 1999, kuota keberangkatan terbagi menjadi dua, yakni haji reguler dan khusus.
Sejak saat itu, kuota keberangkatan jemaah haji Indonesia relatif meningkat, meskipun tetap berubah tiap tahunnya.
UU No.17 Tahun 1999 kemudian diperbarui pada 2008, dengan ditetapkannya UU No.13 Tahun 2008.
Meski telah mengalami perkembangan yang signifikan, penyelenggaraan haji Indonesia bukan berarti lepas dari masalah.
Pada 18 Agustus 2016 lalu, sebanyak 177 Warga Negara Indonesia (WNI) ditahan oleh pihak imigrasi Filipina lantaran akan berangkat haji menggunakan paspor Filipina.
Tentunya, hal tersebut berkaitan dengan kuota keberangkatan haji Indonesia.
Dalam 5 tahun terakhir, kuota keberangkatan jemaah haji Indonesia semakin menipis. Terutama dengan adanya renovasi prasarana ibadah di Masjidil Haram sejak 2013 yang diperkirakan akan selesai pada 2017 mendatang.
Menurut data Kementerian Agama RI, pada 2011, kuota keberangkatan jemaah haji reguler Indonesia tersedia sebanyak 199.848, dengan menyisakan antrean tunda haji sebanyak 1.521.521 jiwa.
Dan pada 2015, jumlah kuota haji reguler pun menipis hingga 154.455, dengan menyisakan antrean tunda yang lebih banyak lagi, yakni 3.014.835 jiwa.
Pada 2016 hanya tersedia sebanyak 168.800 saja, yang terdiri dari 155.200 kuota reguler dan 13.600 kuota haji khusus. Sementara, di tahun 2017, kuota haji untuk jemaah asal Indonesia kembali dipulihkan oleh Raja Salman bahkan ditambah jumlahnya menjadi 221.000 di mana kuota haji reguler mencapai 204.000 dan kuota haji khusus 17.000. Seperti dikutip dari rappler.com
Yang menarik dari penelusuran sejarah ibadah haji di nusantara dari masa ke masa adalah terjadinya dekonstruksi dan desakralisasi peristiwa perjalanan berhaji yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, yang memperjuangkan kemerdekaan dengan peristiwa berhaji.  Sementara itu, jumlah orang yang berhaji saat ini menandakan jika haji menjadi perjalanan ibadah yang sangat biasa. Orang-orang melaksanakan ibadah haji cukup dengan memenuhi urusan finansial, dengan kata lain berhaji sudah terlepas dari urusan-urusan 'politis' lainnya, atau barangkali sebaliknya? Wallahualam (*)