Search

Merantau Pasca Masa Darurat



Salingkaluak,-Merantau, sebuah istilah yang melekat bagi orang orang yang berada diluar kampung halaman mereka. Bagi masyarakat Minangkabau merantau sudah bahasa tidak asing lagi. Sehingga muncul pepatah:
"Karatau Madang Diulu, Babuah Babungo Balun. Marantau Bujang Dahulu, Dikampuang Paguno Balun"
Akhir akhir ini cerita merantau kembali menghiasi status status warganet didunia maya. Bermula dari larangan pulang kampung yang diterapkan pemerintah dalam rangka mencegah penyebaran wabah Covid-19 dari sebelum Ramadhan sampai lebaran Idul Fitri 1441H/2020M. Diskusi diskusi dalam berbagai hal tidak sedikit digelar dengan narasumber dari rantau dan kampung halaman.

Disini penulis tidak akan membahas banyak tentang cerita anak rantau dilebaran 1441H tapi mencoba merunut sejarah orang orang kampung penulis mula merantau usai proklamasi negeri ini.

Merantau usai masa Darurat

Masyarakat Payakumbuh terutama kampung penulis menyebut masa agresi militer Belanda ke II dengan masa darurat. Karena PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Yang mana usai serah terima dengan Belanda, warga kembali ke rumah masing masing dari pengungsian. Yang mana sebelumnya warga disuruh mengungsi karena Kota Payakumbuh jadi ajang pertempuran pejuang dan penjajah.

Sudah dipastikan ekonomi masyarakat masa itu sangat tidak baik. Lahan pertanian lama tidak diolah tentu sudah ditumbuhi semak belukar. Untuk kembali memulai bertani tidak banyak yang punya modal sampai masa panen datang. Kala itu panen padi hanya sekali setahun dengan rentang usia padi 6 bulan. Sehingga sebahagian warga memilih mengayunkan langkah ke Tanah Rantau. Baik itu rantau dekat (Suduik Dapua istilah mereka) seperti keluar dari kota Payakumbuh sampai kota di Luar Sumbar seperti Pekanbaru.

Rata rata sasaran dituju pasar pasar yang cukup ramai. Beberapa orang pelaku sejarah merantau masa itu sempat menceritakan bagaimana mereka menuju tanah rantau. Menjadi anak dagang istilah mereka. Dari Payakumbuh mereka berjalan kaki menuju tanah melayu, Provinsi Riau sekarang. Pasa pasar nagari yang dilalui dari Payakumbuh sampai ke Riau banyak meninggalkan bukti jejak rantau orang orang Koto Nan Gadang kampung penulis. Pasar Pangkalan, Pasar pasar di Kabupaten Kampar, sampai pasar yang ada di Kota Pekan Baru sekarang.

Beragam pekerjaan mereka lakoni masa itu. Dari berjualan, buruh, terbanyak tukang jahit. Bukti merantau pasca darurat ini diperkuat dengan catatan H. Mardisoen mantan komandan gerilya dan Walinagari pertama Koto Nan Gadang usai Agresi Belanda ke II.

Dalam catatan H.Mardisoen tersebut beliau tuliskan, Usai terpilih sebagai walinagari Mardisoen lansung bergerak sesuai instruksi ayahandanya. Bangun dan benahi nagari yang telah porak poranda oleh perang.

Untuk kembali memulai roda ekonomi di nagari ini tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Sawah dan kebun yang sudah lama tidak diolah pasti dipenuhi semak belukar. Untuk bertani sampai menunggu panen masyakarat makan apa? sebuah pertanyaan yang harus dijawab dengan tindakan oleh Walinagari Mardisoen masa itu.

Langkah demi langkah dimulai. Warga Koto Nan Gadang yang sudah lama di rantau dihubungi untuk diminta bantuan. Juga kepada Presiden Soekarno pada masa itu.

"Pintak Buliah Kandak Balaku" pada masa itu Ir Soekarno menyanggupi memberi bantuan dalam bentuk uang yang dimandatkan ke kantor Kas Nagari di Padang untuk Nagari Koto Nan Gadang.

Turunnya bantuan ini diketahui setelah ada pemberitahuan dari Gubernur. Dan dibentuklah delegasi menjemput bantuan tersebut. Alhasil didapat kesepakatan dengan Gubernur masa itu bantuan dikirim ke Koto Nan Gadang dalam bentuk benih padi sebanyak 20 ton dan beras 2 ton. Dan itu dengan izin tertulis Gubernur Sumbar masa itu. Waktu itu ada aturan beras dilarang dibawa keluar dari satu kabupaten ke kabupaten lain

Dengan adanya bantuan beras dan benih, dibuat kesepakatan laki laki dan perempuan dewasa mendapat jatah beras 1 gantang (2 liter) per hari. dan anak anak dapat 1/2 gantang (1 liter). Dengan catatan mau turun kesawah mengolah lahan untuk menanam padi.

Dan mereka yang sudah terlanjur kerantau dijemput dan diajak pulang untuk membangun nagari. Ada yang mau ada juga yang bertahan di rantau masa itu.

Tidak berselang lama program turun kesawah ini dilakukan negeri ini kembali gaduh. Pecah perang saudara. PRRI meletus. Yang pro pusat bertahan di Nagari dan yang tidak keluar dari nagari bergabung dengan pasukan PRRI masa itu. Masa Bagolak mereka namakan. Istilah bagolak karena pergolakan sesama anak bangsa pecah.

Masa Bagolak usai alias berdamai. Pelajar kembali kesekolah, mahasiswa balik ke kampus, petani kembali kekampung masing masing beraktifitas begitu juga dengan TNI/Polri kembali kekesatuan masing masing. itu bunyi perdamaian PRRI dengan Pemerintah pusat kala itu.

Usai bagolak gelombang merantaupun kembali terjadi. Beragam daerah tujuan disasar untuk mengadu nasib dan peruntungan. Sampai habis masa orde lama berganti orde baru merantau mengadu nasib terus berjalan.

Dimasa orde baru merantau sudah tidak lagi sebatas mencari peruntungan tapi sudah banyak yang awal mula menimba ilmu dalam bentuk sekolah. Tamat sekolah ada yang balik ke kampung halaman dan ada yang bertahan di rantau. Merantau menuntut ilmu alias pergi sekolah dimasa orde lama sebenarnya sudah ada, hanya jumlah signifikan muncul setelah orde baru dan sampai saat sekarang ini. (*)