Oleh : Syaiful Anwar
Dosen FE Unand Kampus II Payakumbuh
A.
Ruqayyatu Fatahu Umar, Usia 3.8 Tahun
Sudah Hafal
Al-Quran
Bocah-bocah
lain yang seusia dengannya masih belajar menyusun kalimat dengan benar, dan
bahkan masih merengekrengek kepada ibunya serta masih asyik bermain. Namun, bocah yang satu ini berbeda, ia
sungguh menggetarkan hati kita yang sudah dewasa, bagaimana mungkin anak seusia
yang sangat belia sudah hafal Al-Quran di luar kepala. Ia hafal Al-Quran di
usia 3.8 tahun. Bocah tersebut tiada lain adalah Rukayyatu Fatahu Umar, hafizah cilik asal Nigeria.
Bagaimana
Rukkayatu bisa menghafal 30 juz Al Qur’an pada usia dini seperti itu? Ternyata
ia sangat senang menghafal. Rukkayatu rajin mengikuti ibunya, Sayyada
Maimunatu, ke sekolah tempatnya mengajar, yang tak lain adalah milik kakeknya.
Di kelas hafalan, gadis cilik itu mendengarkan dan menirukan. Ia ikut membaca
bersama siswa-siwa lainnya. Ia bahkan sangat betah untuk berada di sekolah full
day itu, dari jam 07.00 pagi hingga jam 18.00 sore. Lama-kelamaan hafalannya
pun semakin bertambah banyak.
Menghafal
Qur’an dan berada di sekolah selama 11 jam bukan berarti membuat Rukkayatu
kehilangan keceriaan atau tidak memiliki waktu bermain. “Ini bukan berarti ia
tak bermain dengan teman-temannya. Ia melakukannya (bermain), terutama dengan
mereka yang juga menghafal Al-Qur’an seperti dia. Hal ini memudahkan mereka sebagai
perhatian dan fokus pada tujuan yang sama, yakni menghafal Al-Qur’an,” tutur
sang ibu.
Waktu
berlalu. Hafalan terus bertambah. Hingga akhirnya di usianya yang menginjak
tiga tahun delapan bulan, Rukkayatu hafal seluruh isi Al-Qur’an.
“Saya
bersyukur kepada Allah,” ujar Rukkayatu saat ditanya bagaimana perasaannya
dapat menghafal Quran di usia dini. Jawaban ini juga menggambarkan kedewasaan
Sang penghafal Al-Quran ini.
Pendidikan
keluarga sangat berpengaruh terhadap anak. Demikian pula yang dialami oleh
Rukkayatu. Keluarganya adalah keluarga penghafal Qur’an. Ibunya, Sayyada
Maimunah telah menjadi hafizhah di usia 12 tahun. Ayahnya, Fatahu Umar
Pandogari juga hafal Al-Quran. Sedangkan sang kakek, Sheikh Dahiru Usman,
adalah seorang ulama yang hafal Al-Quran.
“Jujur,
saya tidak bisa mengatakan apa-apa, tapi saya sangat bersyukur kepada Allah
atas semua ini. Ini barakah dari Allah. Saya sangat bersyukur kepada Allah
untuk ini,” kata Sayyada Maimunah bercerita tentang keluarganya yang penghafal
Qur’an.
”Saya
juga bersyukur memiliki ayah seperti Syaikh Dahiru Bauchi yang mendidikku di
jalan Islam. Semoga Allah memberinya umur panjang sehingga beliau dapat terus
mengabdikan diri kepada Allah dan bermanfaat bagi umat Islam dan umat manusia
pada umumnya,” tambahnya.
Sayyada
Maimunah bertekad akan terus menjaga hafalan putrinya. Putrinya di usianya saat
ini memiliki hak bermain yang tak boleh direnggut. Rukkayatu juga tetap perlu
mengenyam pendidikan umum di sekolah. Banyak hal yang perlu dipelajari
anak-anak di zaman sekarang, termasuk Rukkayatu.
Sang
ibu berencana memperdalam pendidikan Al-Quran dan Islam kepada putrinya sebagai
basis. Masa itu akan berlangsung hingga usia Rukkayatu memasuki 10 tahun.
Setelah berusia 10 tahun, Rukkayatu baru akan masuk ke sekolah umum. Tentu
saja, pendidikan Islam bagi Rukkayatu perlu terus berlangsung hingga dewasa,
bahkan sepanjang usianya. Tarbiyah madal
hayah.
B.
Tabarak dan Yazid, Usia
4.5 Tahun Hafal 30 Juz
Mereka
adalah kakak beradik yang membuat kita berdecak kagum. Tabarak dan Yazid.
Tabarak dan Yazid mungkin dua hafizh Al-Quran termuda di dunia. Kenapa? Karena
masingmasing telah mampu menghafal 30 juz Al-Quran di bawah usia 5 tahun.
Tabarak berhasil menghafal Al-Quran secara sempurna hanya dalam waktu 1.5 (satu
setengah) tahun; dimulai sejak usia 3 tahun dan selesai menghafal ketika usia
4.5 tahun. Setahun kemudian, adiknya, Yazid Tamamuddin menyusul. Menakjubkan!
Bagaimana dengan anak-anak kita sesuai mereka? Dan bagaimana dengan kita yang
sudah berusia dewasa, sudahkah bisa menghafal Al-Quran secara lengkap (30 juz)?
Silakan jawab dalam diri masing-masing.
Kecerdasan dan Peran Orang Tua
Kehebatan
Tabarak dan Yazid tak lepas dari peran orang tua, termasuk proses tahfizh sang
anak istimewa ini senantiasa di bawah bimbingan orang tuanya sendiri, mengingat
usianya mereka yang masih sangat belia, sebelum kemudian diikutkan dalam halaqah
tahfizh qur’an.
Ayah
mereka, Dr. Kamil Labudi, adalah seorang dosen lulusan Lester University,
Inggris, yang sekarang mengajar di Batterjee Medical College, Jeddah, Saudi
Arabia. Lelaji asal Thanta, Mesir, itu sendiri yang merancang kedua anaknya ini
untuk menjadi seorang hafizh saat balita hingga hal itu benarbenar terwujud–biidznillah.
Mengapa
sang ayah begitu tergerak untuk mencetak mereka menjadi seorang hafizh? Karena,
sang ayah melihat kecerdasan Tabarak, yang memiliki kemampuan menghafal dalam
waktu singkat.
Diceritakan
oleh sang ayah, Suatu ketika, saat Tabarak berusia 2.5 tahun, aku membawanya
pergi ke acara pesta salah seorang teman yang sedang mengadakan hajatan di
rumahnya. Dalam pesta tersebut, banyak anak kecil yang sebaya dengannya turut
mendendangkan nasyid. Tabarak adalah
anak yang suka dan mudah bergaul sehingga ia pun bergabung di tengah-tengah
mereka, hanya saja ia tidak ikut bernyanyi bersama mereka.
Setelah
sekitar 6 bulan pascapesta tersebut, yaitu ketika Tabarak mendekati usia 3
tahun, kami menggelar sebuah acara di rumah. Aku perhatikan bersama istri,
ternyata Tabarak mampu melantunkan nasyid
yang didengarnya 6 bulan lalu bersama anak-anak di pesta. Bermula dari
sinilah timbul perhatian yang serius, baik bagi diriku sendiri maupun bagi
istriku bahwa ternyata Tabarak memiliki kemampuan dalam menghafal. Akhirnya, kami
bersepakat untuk mengajarinya menghafal Al-Quran, yang kami mulai dari surat
An-Naba’ (Juz ‘Amma), sesuai dengan urutan mushaf biasa bukan dimulai dari
surat-surat yang pendek seperti yang biasa dipraktikkan.” Maksudnya, bukan
dengan urutan terbalik dari An-Nas menuju An-Naba’.
Semenjak
itu, mulailah kedua orang tuanya mendiktekan ayat-ayat Al-Quran kepada Tabarak
setiap harinya secara berulang. Selain itu, Tabarak juga sering diperdengarkan
bacaan murattal Al-Quran dari CD yang
dilantunkan oleh Syaikh Mahmud Khalil Al-Husri, atau Syaikh Muhammad Shiddiq
Al-Minsyawi, atau Syaikh Abdul Basith. Sesekali, diperdengarkan pula tilawah
Syaikh
Abdurrahman As-Sudais dan Syaikh Asy-Syuraim. Ternyata, langkah tersebut tidak
sia-sia. Akhirnya, Tabarak bisa menghafal Juz ‘Amma dengan cara mendengarkan
rekamanrekaman tersebut dalam waktu 4 bulan. Selanjutnya ia belajar Qa’idah Qur’aniyah, sebuah metode
membaca Al-Quran dari mushaf (semacam iqra’ atau qira’ati).
Pengembaraan
pun dilanjutkan. Dr. Kamil Labudi dan sang istri, Rasya, terus melakukan
pemantapan pendidikan Al-Quran anak-anak mereka hingga akhirnya sampailah ke
dermaga yang mereka tuju. Tabarak berhasil menghafal Al-Quran secara sempurna
(30 juz) ketika baru berusia 4.5 (empat setengah) tahun, tepatnya pada bulan
Ramadhan tahun 1428 H. Atas prestasi tersebut, Tabarak dinobatkan sebagai
hafizh cilik. Penganugerahan tersebut diadakan di Masjid Syu’aibi, Jeddah,
Saudi Arabia, oleh Syaikh Dr. Abdullah Ali Bashfar, Ketua Umum Lembaga
Internasional untuk Tahfihul Qur’anil Karim.
Tidak
mau kalah, sang adik, Yazid, mengikuti jejak sang kakak. Ia juga berhasil
menghafal Al-Quran secara sempurna dalam usia yang sama dengan kakaknya, 4.5
tahun. Dengan demikian, kedua dapat dikatakan sebagai hafizh termuda sedunia versi
lembaga yang dipimpin oleh Syaikh Bashfar tersebut. Sebelumnya, ada anak ajaib
juga yang dianugerahi hafizh cilik, yaitu Muhammad Ayyub dari Tajikistan
sebagai hafizh termuda sedunia, dengan usia 5 tahun.
Perjalanan
Tabarak dan Yazid Menghafal Al-Quran
Perjalanan
Tabarak dalam menghafal Al-Quran diceritakan sang ayah. Menurutnya, anaknya tersebut telah hafal
surat AlFatihah dan Mu’awwidzatain (Al-Falaq
dan An-Nas) ketika usianya belum genap 2 tahun. Kemudian, ia pergunakan
kesempatan kesukaan Tabarak terhadap
buah zaitun untuk mendiktekan kepadanya surat At-Tin. Ia bacakan kepadanya
surat ini saat ia menyantap buah zaitun.
Hal
ini membuat Tabarak asyik dalam menghafal. Ia seolah tidak merasakan bahwa ia
sedang belajar. Hingga ketika dihadapkan kepadanya tayangan televisi yang biasa
ditonton anak-anak pun ia enggan. Ia menolaknya dengan mengatakan, “Aku tidak
suka menontonnya karena bikin anak-anak suka memukul temannya.” Barangkali yang
dimaksud adalah film Tom & Jerry–misalnya, sebuah animasi yang paling
masyhur dan paling digandrungi anak-anak, termasuk di kalangan masyarakat kita
sendiri.
Orang
tua Tabarak yang begitu telaten dan sabar mendidik anak mereka menjadi hafizh
sebenarnya bukanlah seorang hafizh sejak usia belia sebagaimana anak-anak
mereka. Ayah dan ibu Tabarak justru baru menghafal Al-Quran sejak keduanya
menikah. Tepatnya, sejak keduanya merantau ke Jeddah, Saudi Arabia, untuk
bekerja sebagai dosen di Batterjee Medical College. Sejak itulah, keduanya
merancang program secara rapi dan praktis untuk menghafal Al-Quran. Akhirnya,
keduanya pun menjadi hafizh dan hafizhah, kemudian bertekad melahirkan
anak-anak mereka menjadi hafizh pula. Dan akhirnya terwujud.
Pada
mulanya, program menghafal Al-Quran
dijalankan bagi mereka sendiri. Adapun sang istri, sempat berhenti sementara
waktu karena mengandung Tabarak hingga melahirkannya. Sementara Labudi berhasil
menyelesaikan hafalannya. Kemudian, Rasya, istrinya menyusul hafalannya
bersama-sama dengan anak pertamanya, Tabarak. Hingga Rasya pun berhasil hafal
Al-Quran 30 juz.
Tabarak
pun demikian, ia selalu mengajak adiknya, Yazid, yang usianya kurang dari 1.5
tahun lebih mudah darinya untuk mengikuti program menghafal Al-Quran. Yazid
tampak semangat menghafal Al-Quran mengikuti jejak sang kakak, justru akibat
dari kecemburuannya kepada sang kakak karena mendapat perhatian khusus dan
selalu terlihat intim dengan sang ayah. Padahal, apa yang dilakukan sang ayah, Labudi,
terhadap Tabarak semata-mata untuk membimbing anaknya tersebut dalam proses
menghafal Al-Quran. Seolah-olah ayahnya lebih sayang ketimbang dirinya.
Ternyata,
kecemburuan yang berbuah positif. Yazid menjadi terpacu ingin seperti kakaknya,
sehingga ia pun bersungguhsungguh dalam menghafal Al-Quran. Hingga impiannya
pun terwujud. Yazid berhasil mengikuti jejak sang kakak menjadi hafizh di usia
4.5 tahun. Subhanallah.
Hebatnya,
Yazid dan Tabarak bukan hanya mampu menghafal Al-Quran di usia balita, mereka
juga sudah mampu membaca buku dan koran sebelum mengenal bangku sekolah.
Membentuk
Mata Rantai Hafizh
Melihat
anak-anak mereka yang sudah hafal Al-Quran di usia belia, sang ayah pun, Dr.
Kamil, terpacu untuk membentuk mata rantai hafizh. Ia tergerak untuk mencetak
para hafizh belia sebagaimana Tabarak dan Yazid, agar yang hafal Al-Quran di
usia belia semakin banyak. Oleh karena itu, ia pun membangun sebuah proyek yang
beliau namakan Proyek Tabarak untuk Tahfizh Al-Quran Al-Karim (Masyru’ Tabarak li Tahfizhil Qur’anil Karim).
Proyek
ini dimaksudkan untuk membantu anak-anak belia dalam menghafal Al-Quran secara
sempurna disertai pula dengan tajwidnya. Proyek ini berbentuk halaqah-halaqah tahfizh yang diikuti anak-anak
kecil. Syarat yang ditentukan adalah usia peserta di awal keikutsertaannya
dalam halaqah
tidak lebih dari empat bulan, di samping juga harus sudah hafal surat
Al-Kâfirun hingga surat An-Nâs.
Proyek
ini bertujuan untuk memanfaatkan dan memberdayakan kemampuan anak belia secara
optimal untuk menghafalkan Al-Quran. Aktivitas yang dilakukan tentu saja
berkenaan dengan proyek menghafal Al-Quran seperti yang pernah diterapkan pada
Tabarak. Dengan kata lain, proyek ini bertujuan menciptakan “Tabarak-Yazid”
baru di kalangan anakanak muslim. Sungguh suatu hal yang patut kita tiru dari
keluarga penghafal Al-Quran ini!
C.
Syekh Muhammad Husein Thabathaba’i, Usia 5
Tahun Hafal Al-Quran
Ia
adalah seorang bocah ajaib yang dilahirkan di Kota Qom, sekitar 135 km dari
Teheran, Iran, pada 16 Februari 1991. Ia sempat menggemparkan dunia, menjadi
bahan pembicaraan di mana-mana, karena ia mampu menghafal Al-Quran lengkap 30
Juz di usia 5 tahun. Bahkan, bukan hanya hafal ia pun mengerti seluruh arti dan
maknanya. Dalam kesehariannya, bocah ini bercanda dan berbicara dengan menyitir
ayat-ayat Al-Quran. Atas keajaibannya tersebut, ia memeroleh gelar Doktor
Honoris Causa dalam bidang Science of The Retention of The Holy Quran pada usia
7 tahun. Siapakah bocah ajaib ini? Ia tiada lain adalah Sayyid Muhammad Husein
Thabathaba’i.
Proses Thabathaba’i
Menjadi Hafizh
Keajaiban
pun butuh proses, karena Allah pun mengajarkan makhluk-Nya untuk menikmati
proses. Lalu, bagaimana proses Thabathaba’i menjadi seorang hafizh di usia
belia? Dan adakah peran orang tua terhadapnya? Mari kita simak kelanjutan
kisahnya.
Thabathaba’i
adalah anak ke-3 dari 6 saudara. Orang tuanya menikah ketika mereka
masing-masing berusia 17 tahun. Setelah menikah keduanya bersama-sama berusaha
menghafal Al-Quran. Dari sinilah benih-benih kemunculan bayi ajaib ini disemai.
Sebelum
masa kehamilan, orang tuanya sudah mulai menghafal Al-Quran. Selama hamil dan
ketika menyusui, ibu Thabathaba’i teratur membacakan Al-Quran, selalu berdoa
agar dikarunia anak yang saleh dan cerdas.
Saat
yang dinantikan pun tiba. Thabthaba’i lahir dengan selamat. Bayi mungil
tersebut belum menunjukkan tanda-tanda ajaibnya. Namun, prilaku yang diajarkan
sang ibu ketika masih di dalam kandungan tampaknya sudah mulai tertanam kuat di
benak sang anak. Buktinya, kebiasaan sang ibu mengajaknya ke dalam kelas dan
majelis Quran saat masih balita membuat Thabathaba’i menunjukkan kehebatannya.
Walaupun saat itu ia hanya duduk mendengarkan, namun ternyata ia menyerap isi
pelajaran yang didengarkannya. Alhasil, pada usia 2 tahun 4 bulan, Thabathaba’i
sudah menghafal Juz ‘Amma secara otodidak, yang merupakan hasil dari rutinitas
mengikuti aktivitas keluarganya dalam menghafal Al-Quran.
Melihat
bakat istimewa Thabathaba’i, ayahnya pun secara serius mengajarkan hafalan
Al-Quran juz ke-29, dan memberikan hadiah sebagai pembangkit semangat. Setelah
Thabathaba’i berhasil menghafal juz ke-29, ia mulai diajari hafalan juz 1 oleh
ayahnya. Awalnya, sang ayah, Sayyid Muhammad Mahdi Thabathaba’i–selanjutnya
kita sebut Mahdi, menggunakan metode biasa, yakni membacakan ayat-ayat yang
harus dihafal. Biasanya setengah halaman dalam sehari dan setiap pekan. Namun,
ayahnya menyadari bahwa metode seperti ini memiliki dua persoalan. Pertama, ketidakmampuan Thabathaba’i
membaca Al-Quran membuatnya sangat tergantung pada ayahnya dalam
mengulang-ulang ayat yang harus dihafal. Kedua,
metode penghafalan Al-Quran secara konvensional ini sangat “kering” dan
tidak cocok bagi psikologi anak usia balita.
Selain
itu, Thabathaba’i tidak bisa memahami dengan baik mana ayat-ayat yang
dihafalnya karena banyak konsep yang abstrak, yang sulit dipahami oleh anak
balita. Menghadapi hal ini, Mahdi membuat penyelesaian yang cukup cerdas. Pertama, Thabathaba’i mulai diajari
membaca Al-Quran agar ia bisa mengecek sendiri hafalannya. Kedua, Mahdi menciptakan metode sendiri untuk mengajarkan makna
ayat-ayat Al-Quran, yaitu menggunakan isyarat tangan. Misalnya, kata Allah dengan menunjuk tangan ke atas,
kata yuhibbu (mencintai) dengan
tangan seperti memeluk sesuatu, dan kata sulh
(berdamai) dengan kedua tangan saling berpegangan.
Biasanya,
Mahdi akan menceritakan suatu ayat secara keseluruhan dengan bahasa sederhana
kepada anaknya, Thabathaba’i. Kemudian, ia akan mengucapkan ayat itu sambil
melakukan gerakan-gerakan tangan yang mengisyaratkan makna ayat. Metode ini
sangat berpengaruh terhadap kemajuan Thabathaba’i dalam menguasai ayat-ayat
Al-Quran. Sehingga, dengan mudah, ia mampu menerjemahkan ayat-ayat itu ke dalam
bahasa Persia dan menggunakan ayat-ayat itu dalam percakapan sehari-hari.
Memang,
banyak anak yang mampu menghafal Al-Quran yang masih belia di dunia. Namun,
Thabathaba’i termasuk bocah istimewa di antara anak-anak ajaib lainnya.
Keistimewaannya dibanding anak kecil lain yang hafal Al-Quran adalah
kemampuannya dalam memahami makna ayat-ayat Al-Quran dan menggunakannya dalam
percakapan sehari-hari. Bahkan, ia mampu memilih ayat tertentu dalam
menganalisis suatu masalah.
Misalnya,
tentang zikir. Thabathaba’i menuturkan
bahwa zikir bermakna menghadirkan Allah dalam hati maupun perkataan setiap saat
sehingga kita terdorong untuk berbuat baik. Zikir juga bermakna menghidupkan
dan menerangi hati manusia, menjauhkan diri dari setan, mengamankan dari
kemunafikan, memberi makanan pada jiwa, dan memberi kebahagiaan. Itulah
Thabathaba’i, yang memiliki kemampuan menghadirkan pemahaman, selain hafalan.
Demikianlah
peran orang tua terhadap Thabathaba’i. Ia mampu mengadirkan Al-Quran dalam
dirinya sejak usia belia. Memang diakui Mahdi, sang ayah, anaknya memiliki
kecerdasan di atas rata-rata, hingga itulah yang membuat Mahdi dan istrinya
bersemangat untuk mengantarkan anaknya menjadi seorang hafizh yang memahami
Al-Quran dan maknanya. Dan keinginan mereka pun terwujud.
Mendapat
Gelar Doktor Honoris Causa
Berita
tentang bocah ajaib yang hafal dan paham Al-Quran pun tersebar. Membuat dunia
gempar. Kecerdasan dan kejeniusan Thabathaba’i membuat banyak pihak takjub.
Akhirnya, sebuah ujian untuk gelar doktor pun digelar di sebuah gedung yang
sangat jauh dari negaranya. Gedung itu adalah Hijaz College Islamic University,
yang terletak di jantung wilayah Kerajaan Inggris, sekitar 32 km dari Kota
Birmingham. Di gedung itulah, pada bulan Februari 1998, Thabathaba’i yang baru
berusia 7 tahun menjalani ujian doktoral.
Ujian
doktor tersebut dilakukan selama 210 menit, dan dibagi dalam 2 kali pertemuan.
Materi ujian meliputi 5 bidang, yaitu menghafal Al-Quran dan menerjemahkannya
ke dalam bahasa ibu; menafsirkan dan menerangkan ayat Al-Quran menggunakan ayat
lainnya dari Al-Quran, bercakap-cakap menggunakan ayat-ayat Al-Quran, dan
metode menerangkan makna Al-Quran dengan isyarat tangan.
Saat
istirahat di sela-sela ujian, Thabathaba’i bermain-main di halaman gedung,
layaknya seorang anak kecil umumnya. Seorang doktor, salah seorang tim penguji,
mendatangi bocah itu untuk mengeluhkan kepalanya yang terasa pusing.
Thabathaba’i cilik bermata bundar dengan bulu mata lentik itu memegang dahinya,
membacakan doa, lalu kembali bermain.
Setelah
ujian selesai, tim penguji memberitahukan bahwa nilai yang berhasil diraih oleh
Thabathaba’i adalah 93. Menurut standar yang diterapkan oleh Hijaz College
Islamic University, peraih 60-70 akan diberi sertifikat diploma, 71-80 sarjana
kehormatan, 81-90 magister kehormatan, dan di atas 90 adalah doktor kehormatan.
Akhirnya, tepat pada tanggal 19 Februari 1998, Thabathaba’i menerima ijazah
Doktor Honoris Causa dalam bidang Science of The Retention of The Holy Quran.
Penganugerahan
gelar Doktor ini menyedot perhatian kaum muslimin di London. Selama dua minggu
di sana, ia diundang dalam berbagai acara qurani.
Di antaranya, pertemuan di Islamic Centre di Barat Laut London, yang
dihadiri oleh sekitar 13.000 muslim Inggris. Dalam pertemuan itu, berbagai
pertanyaan diajukan kepada Thabathaba’i. Dalam kesempatan tersebut, ia dicecar
oleh beberapa pertanyaan seputar ayat-ayat Al-Quran.
Salah
satu pertanyaannya berbunyi, “Engkau memiliki berapa orang paman?” Thabathaba’i
pun menjawab dengan ayat Al-Quran, “Sudah
sampaikah kepada kamu kisah Musa?” (QS. AnNazi’at [79]: 15), dan “Muhammad itu adalah utusan Allah.” (QS.
Al-Fath [48]: 29). Adapun yang dimaksud Husein adalah ia memiliki dua paman,
satu bernama Musa dan satunya lagi bernama Muhammad.
Dicecar
Pertanyaan Sepulang dari Inggris
Sekembalinya
dari Inggris, rumah keluarga Thabathaba’i ramai dikunjungi oleh para tamu yang
ingin mengucapkan selamat atas keberhasilan Sayyid Muhamamd Husein Thabathaba’i
meraih gelar Doktor Honoris Causa. Dalam pertemuan itu, lagi-lagi para hadirin
menanyakan berbagai hal kepada Thabathaba’i. Berikut beberapa catatan dari tanyajawab saat itu.
Penanya:
Bagaimana ujian yang kamu lalui (di Inggris?
Jawab: “Sesungguhnya sesudah kesulitan ada
kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah [94]: 60)
Tanya:
Apa tanggapan orang-orang di sana
(Inggris) dalam acara-acara qurani-mu
Jawab:
“Mereka tertawa.” (QS. Al-Muthaffifin
[83]: 34). Maksud Thabathaba’i, orang-orang di Inggris yang menemuinya merasa
senang/gembira.
Tanya: Jika kamu ditanya orang, ‘Buat apa
engkau datang ke Inggris?’ Apa jawabanmu?
Jawab: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan dari kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 67). Maksud
Thabathaba’i adalah ia pergi ke Inggris menyampaikan ayat-ayat Al-Quran.
Tanya:
Gelar Doktor itu didapatkan kalau sudah lulus S3, sedangkan engkau lulus SD
saja belum. Bagaimana mungkin bisa mendapat gelar Doktor?
Jawab: “Mereka dalam keadaan gembira disebabkan
karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka.” (QS. Ali Imran [3]: 170).
Maksudnya,
semua itu adalah karunia Allah.
Tanya:
Bagaimana ilmu itu diajarkan?
Jawab: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh
(berjihad) untuk Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami.” (QS. Al-Ankabut [29]: 69). Maksud Thabathaba’i, bila
manusia berusaha mencari dengan sungguhsungguh, maka Allah akan membuka jalan
ilmu baginya.
Tanya:
Kapan engkau akan menikah?
Jawab: (Sambil
tersenyum) “Dan apabila anak-anakmu telah
sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin.” (QS. An-Nur [24]:
59). Maksud Thabathaba’i, ia akan menikah jika umurnya sudah baligh.
Tanya:
Jika seseorang menzalimi dan memukulmu, apa yang kau lakukan?
Jawab: “Dan, dalam qishash itu, ada hidup bagimu.” (QS.
AlBaqarah [2]: 179). Maksudnya, Thabathaba’i akan membalas pukulan itu.
Tanya:
Apakah kamu pernah marah?
Jawab: “Janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” (QS. Al-Anfal [8]:
46). Maksud Thabathaba’i, ia berusaha untuk tidak marah/tidak bertengkar.
Sebelum
meraih gelar doktor di Inggris, Thabathaba’i memang sudah terkenal sejak usia 5
tahun. Wajahnya yang imut sering menghias layar televisi Iran, serta tampil di
berbagai koran dan majalah. Foto-fotonya dijual di toko-toko buku, baik dalam
bentuk poster atau stiker. Di televisi, matanya yang bundar dan lebar, khas ras
persia, selalu menatap kamera televisi dengan penuh percaya diri. Biasanya, ia
tampil mengenakan gamis (baju panjang hingga ke mata kaki) dan dilapisi abaa (mantel hitam khas para ulama
Iran).
Dengan
gaya bahasa anak-anak dan sedikit cadel, Thabathaba’i menjelaskan hukum-hukum
Islam, misalnya tentang kewajiban shalat. Tangannya pun turut digerakgerakkan
ke udara, untuk memberi penekanan pada kalimatkalimat tertentu. Secara fasi, ia
mengutip ayat-ayat Al-Quran, dan langsung menerjemahkannya ke dalam bahasa
Persia, bahasa nasional Iran.
Selain
tampil di televisi, Thabathaba’i juga diundang dalam berbagai majelis qurani, baik di dalam maupun luar
negeri. Majelis qurani juga secara
rutin diselenggarakan di rumah keluarga Thabathaba’i setiap Jum’at sore, dan
orang-orang dari berbagai penjuru Iran berdatangan untuk menemuinya.
Seseorang bertanya
kepadanya, “Bagaimana pendapatmu tentang budaya Barat?”
Thabathaba’i
menjawab, “(Mereka) menyia-nyiakan shalat
dan memperturutkan hawa napsunya.” (QS. Maryam [19]: 59).
Ada lagi yang meminta,
“Coba sebutkan ayat mengenai dirimu sendiri!”
Thabathaba’i
menjawab, “Sesungguhnya aku dapat melihat
apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat.” (QS. Al-Anfal [8]: 48).
(Sambungan ayat ini, “Sesungguhnya aku
takut kepada Allah); yang dimaksud Thabathaba’i adalah ia “melihat” Allah
dan takut kepada-Nya.
Kemampuan
Thabathaba’i yang menakjubkan tersebut membuat para hadirin yang hadir di
majelis-majelis qurani terkagum-kagum.
Menyitir
Al-Quran Sambil Bermain
Walaupun
sudah mendapat gelar doktor dan hafizh, namun sifat kekanak-kanakan sebagai
kodratnya anak-anak tetaplah tidak lepas dari Thabathaba’i. sifat
kekanak-kanakan merupakan tindakan-tindakan yang biasa dilakukan oleh anak
kecil pada umumnya, yaitu bermain-main. Hal ini terlihat di banyak kesempatan
keseharian Thabathaba’i. Misalnya, dalam kunjungannya ke Makkah, pada sebuah
majelis qurani, Thabathaba’i tertarik
pada kabel mikrofon yang ada di hadapannya. Ia pun berulang-ulang menarik kebal
itu, dan akhirnya mencopotnya hingga terlepas.
Di
lain kesempatan, Thabathaba’i menjawab pertanyaanpertanyaan dari para hadirin
sambil memainkan mobil-mobilan. Saat bermain bersama saudara-saudaranya pun,
Thabathaba’i cilik menggumamkan ayat-ayat Al-Quran. Ketika menaiki mobilmobilan
ia berkata, “Mereka (duduk) di atas
dipan-dipan sambil memandang.” (QS. Al-Muthaffifin [83]: 23).
Sebagai
anak kecil, Thabathaba’i juga tidak lepas dari pertengkaran dengan
saudara-saudaranya. Namun luar biasanya, saat bertengkar pun, ia mengucapkan
ayat-ayat Al-Quran. Ketika saudara laki-lakinya berusaha memukulnya,
Thabathaba’i segera berteriak, “Selamatkan
aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”
(QS. At-Tahrim [66]: 11). Kejadian yang
sama juga pernah terulang ketika saudara perempuannya hendak memukulnya.
Thabathaba’i melarikan diri dari kejaran saudarinya itu, lalu terjatuh ke
lantai. Dia berteriak, “Wanita itu
menarik baju gamis Yusuf dari belakang.” (QS. Yusuf [12]: 25).
Terpelihara
Sejak Belia
Walaupun
masih belia, namun Thabathaba’i sudah terpelihara dirinya dari menjauhi lkhtilath (bercampur baur dengan non
mahram) dan senantiasa menjaga pandangannya. Ia pun sangat paham masalah hijab.
Suatu hari, ia dan keluarganya diundang makan malam oleh sebuah keluarga. Dalam
kebiasaan sebagian orang Iran, acara jamuan makan malam dilalukan secara
terpisah antara laki-laki dan perempuan. Para bapak berkumpul di satu ruangan,
para ibu berkumpul di ruangan lain. Ketika bosan duduk di ruangan bersama para
bapak,
Thabathaba’i
pun keluar ruangan dan melihat-lihat ruangan lain di rumah itu. Tuan rumah
mempersilakannya masuk ke ruangan para ibu. Thabathaba’i pun masuk sebentar,
lalu segera keluar dengan wajah kesal. Ia berkata kepada tuan rumah, “Katakan kepada perempuan itu agar menjaga
hijab mereka.”
Dalam
suatu kesempatan, Thabathaba’i diundang ke Suriah. Seorang ibu merasa gemas
pada Thabathaba’i kecil, dan ia mendatanginya untuk menciumnya. Thabathaba’i
berkata, “Jangan pegang aku!” Tapi, si ibu tetap mendekati dan menciumnya.
Thabathaba’i terlihat kesal. Seseorang berkata, “Tidak apa-apa, kamu kan belum
baligh, tidak apa-apa dicium perempuan bukan mahram.” Thabathaba’i menjawab,
“Saya belum baligh, tapi kan ia sudah baligh.”
Di
kesempatan lain, Thabathaba’i dan
ayahnya diundang ke rumahs seorang pejabat tinggi di sebuah negara Teluk. Di
tengah-tengah percakapan di antara para hadirin laki-laki, tuan rumah
mempersilakan Thabathaba’i pergi ke ruangan tempat para hadirin perempuan.
Thabathaba’i pergi sebentar ke sana, dan kembali lagi.
Tuan
rumah bertanya, “Bagaimana, engkau sudah melihat mereka (hadirin perempuan)?”
Thabathaba’i
menjawab, “Saya ke sana, tapi tidak melihat mereka.” Maksud Thabathaba’i, ia
menundukkan pandangannya.
Tuan
rumah kembali bertanya, “Apakah engkau mau kupilihkan seorang perempuan cantik
di antara mereka untuk menjadi istrimu?”
Thabathaba’i
menjawab cerdas, “Ketika aku mencapai usia baligh, mereka sudah menjadi perempuan-perempuan tua yang telah terhenti, dan
tiada ingin kawin.” (QS. An-Nur [24]: 60).
Paham
Al-Quran dan Ilmu-ilmu Lain
Kecerdasan
Thabathaba’i bukan hanya saat ia masih
belia. Ketika sudah mencapai baligh pun ia semakin cerdas. Ia bukan hanya paham
Al-Quran, ia pun menguasai ilmu-ilmu lain. Pada usia 16 tahun (2006 yang lalu),
saat di Doktor Cilik itu tengah menuntut ilmu agama di Hawzah (semacam Insitut
Agama Islam Negeri) di tingkat 8 (setara dengan tahun akhir S1). Di
tengahtengah kesibukan kuliahnya tersebut, salah satu harian terkemuka di Iran,
Kayhan, mewawancarainya secara
ekslusif pada 5 Oktober 2006. Berikut petikan wawancaranya:
K: Di
mana engkau selama ini?
T: Saya tidak ke mana-mana. Saya di sini, sibuk dengan pelajaran saya.
K:
Sekarang, jika orang melihatmu di jalan, apa mereka mengenalimu?
T: Tidak, karena mereka ingat wajah saya ketika berusia 5-6 tahun. Menurut
saya, begini lebih baik. Ada yang bilang, ‘Dalam ketidakterkenalan, ada
kenyamanan.’”
K: Sekarang,
apa yang sedang engkau pelajari?
T: Saya tidak membatasi pada pelajaran tertentu, namun saya lebih tertarik
mempelajari buku-buku tentang akhlak dan agama.
K: Mengapa
engkau tidak lagi muncul di televisi?
T: Sejak beberapa waktu lalu, program pelajaran saya semakin padat, dan
saya sedikit sekali mempunyai waktu untuk kegiatan lain.
K: Selama
ini, apakah engkau juga pernah mengajar?
T: Ya, saya pernah menjadi pengajar juga.
K:
Metode pengafalan Al-Quran yang muncul
saat engkau kecil dahulu (metode
isyarat), apakah saat ini cukup berkembang di masyarakat?
T: Prinsip menghafal Al-Quran sejak zaman dahulu hingga sekarang tidak ada
perubahan, yaitu membaca dan mengulang, dengan mendengar, atau dengan menulis.
Namun, metode atau cara mengajarkan di kelas akan terus mengalami perkembangan.
Metode baru ini (metode isyarat), alhamdulillah sangat efektif.
Dengan penuh penghormatan kepada metode lama, saya
menyambut segala bentuk metode baru.
K: Sebagian
orang meyakini bahwa engkau pada masa kecil tertekan karena saat engkau
seharusnya menikmati masa kecil, malah diharuskan mempelajari Al-Quran.
T: Ya, banyak yang mengira demikian, padahal sama sekali tidak benar. Saya cukup menikmati masa kecil saya.
Saya masih ingat, dalam sebuah majelis qurani yang dihadiri banyak orang, saya
menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka sambil bermain mobilmobilan. Pada usia 8
tahun, saya dan teman-teman (mereka yang jumlahnya 50 orang) pergi kemping
pagi-pagi. Setelah selesai shalat Subuh, mereka semua tidur dan saya mencoreng
muka mereka dengan arang. Ke-50 teman saya itu tidak tahu sampai sekarang siapa
yang membuat wajah mereka hitam (tersenyum).
K: Selama
ini, mengapa engkau menjauh dari masyarakat?.
T: Saya tidak tahu apa yang Anda maksudkan dengan ‘menjauh’. Saya selalu
berada di tengah masyarakat dan sering hadir dalam berbagai acara qur’ani di
berbagai kota.
K: Apa
definisi Al-Quran bagi seorang remaja?
T: Saya pikir, pandangan seorang remaja terhadap Al-Quran haruslah seperti
pandangannya terhadap minyak wangi. Ketika kita keluar rumah, tentu kita selalu
inin wangi dan menggunakan minyak wangi. Kita juga harus mengharumkan jiwa
dengan membaca dan menghayati Al-Quran. Seorang remaja harus menyimpan Al-Quran
di dadanya supaya sedikit demi sedikit prilaku dan pembicaraannya dipengaruhi
oleh Al-Quran.
K: Menurutmu,
untuk mencapai hal seperti ini (pengenalan yang baik terhadap Al-Quran di
kalangan remaja), apa yang sudah dilakukan (pemerintah/masyarakat)?.
T: Menurut saya, hingga kini, belum
dilakukan langkah yang mendasar terkait dengan Al-Quran, hanya terfokus pada
kegiatankegiatan klise. Saya tidak mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang
dilakukan selama ini tidak baik, namun tidak cukup. Selama Al-Quran tidak
menjadi prioritas utama pemerintah dan masyarakat, Al-Quran tidak akan
bersemayam di hati para remaja. Kita berkewajiban menggunakan segala fasilitas
untuk memperkenalkan hakikat Al-Quran dan penerapannya dalam kehidupan kepada
masyarakat. Di antara fasilitas yang sangat berpengaruh adalah melalui film dan
televisi.
Namun, hal ini jangan dilakukan hanya sebatas pada
bulan Ramadhan. Salahs satu tanda akhir zaman adalah orang-orang tidak lagi
beribadah kepada Allah selain pada bulan Ramadhan.
K: Bukankah
kita sudah memiliki stasiun radio qurani dan satu channel khusus Al-Quran?
T: Ya, saya pikir, salah satu berkah dari pemerintahan Islam adalah
berdirinya radio dan televisi qurani ini.
Namun, tidak berarti radio yang lain tidak punya kewajiban dalam
memasyarakatkan AlQuran, terutama channel 3 yang dikhususkan untuk para remaja.
K: Bagaimana
dengan internet?
T: Internet merupakan sebuah ‘bahasa bersama’ di dunia. Karenanya,
internet merupakan sebuah jembatan komunikasi yang sangat tepat untuk
menyebarluaskan pemahaman agama. Kita juga harus memanfaatkan fasilitas yang
sangat kuat ini dengan semaksimal mungkin.
K: Bagaimana
kalau saya mengajukan pertanyaan satu kata?
T: Silakan.
K: Sedih?
T: Orang yang selalu bersama Al-Quran tidak akan pernah merasa sedih.
K: Hawa
napsu?
T:
Kita harus hati-hati menghadapinya,
terutama nafsu ammarah.
K: Kematian?
T:
Jembatan yang akan mengantarkan manusia
ke surga atau ke neraka.
K: Dosa?
T:
Api yang kalau hanya didekati saja,
panasnya sudah sangat terasa.
K: Pencerahan
agama?
T:
Kebangkitan agama.
K: RAM
215?
T:
Salah satu bagian dari hardware komputer.
K: Saya
tidak sangka, engkau mengetahuinya.
T:
O, ya?
K: Internet?
T:
Fasilitas terbaik untuk menyebarluaskan
Islam.
K: Menunggu?
T:
Kerja dan aktivitas.
K: Syahid?
T:
Lilin.
K: Cinta?
T:
Hati orang mukmin.
K: Energi
nuklir?
T:
Hak semua bangsa.
K: Olahraga?
T:
Perlu bagi semua orang.
K: Menonton
sepak bola atau bermain?
T:
Keduanya, saya menonton dan bermain sepak
bola.
K: Parameter
kehidupan?
T:
Rasulullah Saw.
K: Musik?
T:
Saya mendengarkannya (sambil tertawa),
tentu saja musik yang terkait dengan Al-Quran.
K: Syair
(puisi)?
T:
Saya membacanya tapi tidak terlalu.
K: Gulestan e- Sa’di (buku
syair karya penyair sufi Iran, Sa’di Shirazi?
T:
Kitab pertama yang saya hafal (kitab
pertama: Al-Quran).
K: Buku
terakhir yang dibaca?
T:
Akhlak dalam Al-Quran, karya Ayatullah
Makarim Shirazi.
K: Apa
perbedaan antara Sayyid Muhammad Husein 10 tahun yang lalu dengan hari ini?
T:
Semakin banyak saya membaca dan semakin
jauh saya berjalan, saya semakin menemukan bahwa saya semakin ‘miskin’ dan
semakin ‘membutuhkan’.
K: La yukallifullahu nafsan illa wus’aha (Allah
tidak akan membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kemampuan....” (QS.
Al-Baqarah [2]: 286).
T:
Menurut saya, untuk mencapai tujuan dan
kemajuan, kita harus memandang bahwa kewajiban kita lebih besar dari kemampuan
yang kita miliki.
Demikianlah
potret Sayyid Muhammad Husein
Thabthaba’i, ia menjadi inspirasi bagi kita, bahwa jika jiwa berisikan Al-Quran
niscaya cara bicara, sikap, dan gerak hidup senantiasa teratur dengan Al-Quran.
D.
Durrotul Muqoffa, Anak
Sedan, Usia 6 Tahun Hafal 30 Juz
Ketika sebagian
orang tidak yakin Imam Syafii hafal Alquran pada usia 10 tahun, Durottul
Muqoffa membuktikan kebenaran itu. Bocah kelahiran tahun 1998 itu malah sudah
hafal Alquran 30 juz pada usia enam tahun. Ibu kandungnya, Mundasah menuturkan,
mulai melatih Ova, panggilan gadis kecil itu pada usia tiga setengah tahun.
”Ya
kami biasakan kalau bermain-main bersama teman lainnya sambil menghafal
surat-surat pendek. Mau tidur menghafal lagi, bangun tidur menghafal lagi.
Jalan-jalan, seharihari tidak berhenti berhadapan dengan Alquran,” katanya.
Ova
menjadi kafilah terkecil yang mewakili Jawa Tengah di cabang tartil golongan
anak-anak puteri di MTQ Nasional XXI Kendari, Sulawesi Tenggara. Sejak dilepas
Wagub Ali Mufiz di Masjid Agung Jateng, Jalan Gajahraya Semarang, ia menjadi
perhatian banyak orang.
”Semula
kami tidak yakin bocah sebelia itu sudah hafal Quran 30 juz. Namun setelah
di-tashih berkali-kali dengan membuka sembarang halaman dari Kitab Suci
Alquran, kami yakin Ova memang hafizah (penghafal Quran) pada umur yang sangat
dini,” tutur KH Abdullah Hanif AlHafidz. Tidak hanya Ny Hj Zaimatun Ali Mufiz yang
gemas melihat Ova, Ny Hj Effi Mardiyanto, juga terkagum-kagum melihat kemampuan
Ova.
Meski
dia belum berhasil keluar sebagai juara, ia telah menunjukkan kebesaran Tuhan
betapa Alquran yang 30 juz itu mampu dihafal oleh bocah yang kini usianya
menginjak delapan tahun.
Andai saja pada saat tampil di mimbar
tilawah kesehatannya dalam kondisi prima, mungkin ia bisa menjadi juara.
”Karena saat Ova tampil tidak sehat sehingga bacaannya menjadi terganggu,” ujar
Sekretaris LPTQ Jateng Drs H Moh Ahyani.
Mundasah,
ibunya yang tampil di cabang tahfidz golongan 20 juz putri tampil sebagai
hafizah terbaik II. Ketika ditanya bagaimana mungkin bocah sekecil itu mampu
menghafal Alquran 30 juz? jawabannya mungkin karena ketelatenan kedua orang
tuanya dan lingkungan yang mendukungnya.
Selain
ibunya yang hafizah, ayahnya Kiai Sulaiman juga seorang hafiz yang memimpin
Pondok Pesantren Tahfidzul Quran (PPTQ) Al-Furqon di Dusun Karanganyar, Desa
Sedan, Rembang. Kakak kandungnya, Zumrotul Lutfiyah, 11 tahun juga sudah hafal
Alquran 30 juz.
”Tidak
ada resep apa-apa kok. Ya hanya harus telaten nyimak saja,” jelas Mundasah yang
alumnus Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Kauman Semarang asuhan almarhum KH
Abdullah Umar. Meski sekarang Ova berumur delapan tahun, ia masih mempunyai
empat adik yang kecil-kecil. Yaitu Siti Inayatul Baroroh, Mohammad Masadurrofi,
Samiyatul, dan Mohammad Muzammil. “Seharusnya anak kami tujuh. Yang mbarep
Mun’im meninggal pada saat masih bayi,” ungkapnya.
Awalnya,
Ova diajari mengaji menggunakan jilidan dan sekolah di Bustanul Mujawwidin.
Mungkin karena bakat yang cerdas sehingga ia dengan cepat bisa menguasai ilmu
yang diberikan ayah dan ibunya.
“Nama
Durrotu Muqoffa sendiri kami peroleh dari KH Maemun Zubair, Pengasuh Pesantren
Al-Anwar, Sarang Rembang,” tandasnya. Jika anak-anak seusia dia bermain dan
tidur ditemani boneka, Si Ova sehari-harinya ditemani Kitab Suci Alquran.
Memang keajaiban dunia.
E. Ali
Husein Jawwad, Usia 7 Tahun Hafal 30 Juz
Ia adalah bocah
yang lahir di sebuah kota kecil di Bahrain, Janusan. Usianya baru 7 tahun,
namun ia sudah mampu menghafal 30 juz Al-Quran. Usia yang sangat belia.
Bayangkan seumuran kelas 1 SD di negeri kita.
Keistimewaan
itu ditunjukkan Jawwad dalam sebuah acara tasmi’
Al-Quran, sekaligus pertemuan yang diadakan di kota Darraj. Dalam acara
tersebut, bocah cilik ini menunjukkan kemampuannya di dalam menghafalkan
Al-Quran secara baik dan benar, sesuai dengan kaidah-kaidah yang menjadi
pijakan dalam membaca Al-Quran, mulai dari makhraj, panjang bacaan, waqaf, dan
segala yang terkait dengan kaidah-kaidah ilmu tajwid.
Dalam
kesempatan tersebut, diadakan semacam “ujian” atau “pembuktian” bahwa ia memang
benar-benar hafal AlQuran secara sempurna. Para hadirin, khususnya alim ulama,
melontarkan penggalan ayat kepadanya yang berupa kata-kata dalam Al-Quran.
Kemudian, mereka meminta kepada Jawwad untuk melengkapi dan meneruskan bacaan
ayat hingga selesai surat. Dengan mudah, ia menyempurnaan bacaan ayat tersebut
dari awal hingga akhir secara baik, lancar dan tepat. Hal seperti itu dilakukan
berkali-kali dengan mengambil ayat-ayat Al-Quran secara acak, kemudian ia
diminta untuk menyempurnakannya.
Tanpa kesulitan, Jawwad mampu memenuhi
permintaan para penguji tersebut. Sementara para hadirin menyimaknya melalui
mushaf yang memang sudah disiapkan oleh panitia.
Semua
orang yang hadir terperangah melihat kemampuan yang dimiliki oleh anak yang
masih sangat belia ini. Sebab, banyak dari mereka yang hadir di situ adalah
orang-orang dewasa, tidak memiliki hafalan yang memadai. Mereka hanya mampu
menyimak melalui mushaf yang ada di tangan mereka.
Jika
kita digemparkan oleh bocah ajaib akhir-akhir ini bernama Syarifuddin Khalifah
yang di usia sangat belia bisa melantunkan ayat-ayat Al-Quran, sehingga
mampu menyedot perhatian yang membuat
puluhan ribu orang masuk Islam melalui perantaraannya. Namun, ia bisa menghafal
Al-Quran tanpa ada yang mengajarinya selain Allah SWT. Beda halnya dengan
Jawwad. Jawwad adalah bocah biasa seperti kebanyakan bocah penghafal Al-Quran
lainnya yang berhasil hafal Al-Quran berkat kerja keras dan ketekunan didikan
orang tuanya. Menurut sang ayah, Jawwad dalam menghafal ayat-ayat suci Al-Quran
telah tampak sejak ia berusia 5 tahun. Ketika itu, Jawwad menghafalkan beberapa
ayat Al-Quran, nasyid-nasyid islami, dan bacaan zikir.
Melihat
bakat yang istimewa pada sang anak, maka sang ayah pun mulai mengajarkan
hafalan Al-Quran kepada Jawwad. Akhirnya, dua tahun kemudian ia berhasil
menyelesaikan hafalan Al-Quran 30 juz secara lengkap. Bukan hanya itu, Jawwad
juga memiliki kemampuan yang luar biasa di dalam menghafal apa saja yang dibaca
dan didengarnya, termasuk berbagai nazham
sya’ir Arab.
Semoga
kisah dan informasi singkat tentang sosok
bocah Jawwad ini menggerakkan hati kita untuk mulai menghafal AlQuran
atau mengulang kembali hafalan yang selama ini kita tinggalkan.
F.
Muhammad Gozy Basayef, Usia 8 Tahun Hafal Al-Quran
Ia adalah bocah
cerdas dari Indonesia, bukan dari Timur Tengah sebagaimana yang telah kita
bahas sebelumnya. Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 24 Juni 2000. Ia
putra pertama dari pasangan M. Natsir dan Erika. Dalam 2 tahun, ia berhasil
menghafal seluruh Al-Quran di luar kepala. Siapakah dia? Ia adalah Muhammad
Gozy Basayef–yang akrab dipanggil Gozy.
Kalau
dilihat namanya, mungkin kita akan heran dan penasaran karena namanya berbau
Arab dan Rusia. Ketika pertama kali mendengar namanya saja, banyak orang yang
tidak mengira bahwa bocah ini adalah asli Indonesia. Apa misteri di balik nama
tersebut?
Menurut
sang ayah, Natsir, terdapat sebuah inspirasi ketika Gozy lahir. Ketika Gozy
lahir, saat itu sedang terjadi perang antara mujahidin Chechnya melawan pasukan
Rusia. Salah seorang komandan perang Chechnya yang terkenal itu adalah Shamil
Basayef. Ia adalah seorang mujahid yang gagah berani dan seorang hafizh Al-Quran.
Ayah Gozy sangat terinspirasi oleh profilnya sehingga memberikan nama bagi
anaknya Muhammad Gozy Basayef yang berarti Muhammad–diambil dari Nabi
Muhammad–Gozy yang berarti pejuang dan merupakan syuhada Kaukasus pada abad
pertengahan. Sedangkan Basayef merupakan nama belakang Shamil Basayef.
Pada
umumnya, seorang penghafal Al-Quran lahir dari keluarga yang sangat dalam ilmu
keislamannya. Paling tidak, keluarga tersebut memiliki pengamalan ibadah yang
samgat dalam. Namun, hal ini tidak terjadi pada keluarga Natsir. Gozy lahir
bukan berasal dari keluarga ustadz maupuan kiai, tetapi datang dari seorang
ayah yang hanya karyawan di sebuah perusahaan musik dan ibu rumah tangga biasa.
Kemampuan membaca Al-Quran kedua orang tuanya pun biasa-biasa saja. Tetapi,
walaupun demikian, kedua orang tuanya memiliki harapan yang sangat tinggi
terhadap anaknya, yaitu menjadi penghafal Al-Quran.
Kemampuan
luar biasa Gozy dalam menghafal Al-Quran pertama kali ditemukan bukan oleh
kedua orang tuanya, tetapi oleh guru private-nya,
Almira W, yang biasa dipanggil oleh Gozy sebagai Kak Mira. Kak Mira melihat
bakat luar biasa yang ditunjukkan Gozy terhadap Al-Quran, sampai akhirnya Gozy
mengikuti program penghafalan Al-Quran.
Lantas,
apa yang mendasari Gozy menghafal Al-Quran?
Motivasi
utama Gozy untuk bisa menjadi seorang hafizh AlQuran adalah untuk mengangkat
derajat orang tuanya di mata Allah SWT. Karena ia takut jika orang tuanya tidak
bisa masuk surga kelak. Gozy pernah mengatakan kepada ayahnya bahwa ia ingin
hafal Al-Quran sebelum 1403 H atau 2008 ini karena orang tuanya meninggal
terlebih dahulu.
Karena
motivasi yang sangat besar dari Gozy dan sejak awal ayah dan ibunya
menginginkan anaknya menjadi penghafal AlQuran, maka selain anaknya bersekolah
di SDIT, ia pun dimasukkan juga ke sekolah penghafal Al-Quran pimpinan Ustadz
Syam Amir. Gozy kecil sempat ditolak
dengan alasan usia yang masih sangat muda, yaitu 6 tahun. Rata-rata, murid yang
lain berumur 10 tahun. Namun, karena melihat semangat yang sangat besar dari
Gozy, maka ia diperbolehkan masuk dari sehabis shalat maghrib sampai Isya.
Sebelum ke dalam tahap menghafal Al-Quran, Gozy harus melalui tahap perbaikan (tahsin)
terlebih dahulu.
Ketika
pertama kali bergabung di seolah tersebut, Gozy sempat kaget karena rata-rata
teman-temannya di sekolah tersebut telah hafal lebih dari 1 juz, sedangkan
dirinya baru hafal juz 30. Ia sempat beberapa kali mengikuti tes. Namun ia
tidak putus asa, ia pun terus berlatih dengan tekun di rumah bersama kedua
orang tuanya. Akhirnya, Gozy pun dapat diterima sebagai penghafal Al-Quran dan
bertambah semangat.
Lantas,
metode apa yang diterapkan oleh orang tua
dan guru Gozy dalam mendidiknya menjadi penghafal Al-Quran?
Salah
satu metode yang dipakai oleh Gozy dan kedua orang tuanya adalah dengan
memperdengarkan bacaan Al-Quran melalui kaset-kaset murattal dan dengan intensif berlatih di rumah dengan
mengulang-ulang bacaan Al-Quran. Selain itu, Gozy juga dilatih secara intensif
oleh guru-guru yang sangat kompeten, seperti Ustadz Nashruddin, Nasruddin,
Zaenal, Rahmat, Akbar, Khadiq dan Zulfikar yang merupakan asisten dari Ustadz
Syam Amir (ia pernah menjuarai lomba hafalan Al-Quran internasional di Mesir).
Berdasarkan
pengakuan dari sang ayah, selain rajin berlatih salah satu kunci sukses untuk
mudah menghafal Al-Quran adalah dengan menjaga agar jangan sampai ada makanan
yang tidak halal untuk sang anak.
Akhirnya,
Gozy berhasil menyelesaikan hafalan Al-Quran pada tanggal 30 Juli 2008, atau
tepat hari kelahiran ayahnya. Ia memang berniat menyenangkan ayahnya sehingga
ia rela menambah hafalannya hingga 1 juz per hari.
Demikianlah
kisah Gozy dan orang tuanya yang gigih dalam menjaga wahyu Allah lewat
menghafalkannya. Bak pepatah, man jadda
wajada.
G.
Mahmud Ahmad Salamah,
Anak Gaza, Usia 9 Tahun Hafal 30 Juz
Mahmud
Ahmad Salamah adalah seorang anak yang lahir pada tanggal 25 Februari 1999 di
bumi Palestina. Ia adalah anak Palestina termuda yang telah hafal seluruh isi
kitab suci Al Qur’an pada usia 9 tahun. Walaupun terlahir dengan jantung
yang bocor/berlubang, ia tumbuh sebagai anak yang selalu unggul. Pada
usia 3,5 tahun ia mulai bisa menghafal surat Al Isra. Atas keberhasilannya, di TK tempat ia belajar diadakan perayaan
khusus untuknya. Pada kesempatan itulah ia membacakan hafalan Al Qur’an di
hadapan orang-orang.
Mahmud
kecil tumbuh bersama Al Qur’an sejak ia berusia 4 tahun. Saat itu ia dapat
membaca Al Qur’an pada halaman berapa saja dengan bacaan yang baik dan benar .
Ia membacanya tanpa dituntun oleh siapa pun sehingga membuat orang lain
terkagum-kagum mendengarnya. Ia mulai menghafal dengan dorongan orang tuanya.
Mahmud menghafal isi Al Qur’an hanya dalam waktu 9 bulan, yaitu sejak 1
Desember 2007 sampai 31 Agustus 2008. Ia menghafal di Masjid Abi Dzar Al
Ghifari yang terletak di sebelah barat Khan Yunis. Dengan metode bertahap, ia
mulai dari surat-surat pendek. Menurutnya, dengan begitu akan memudahkannya
ketika menghafal. Dan pada saat menghafal surat yang panjang ia mengaku memang
ada kesulitan. Namun, setelah terbiasa semua itu jadi mudah.
Dulu
selesai sholat Jum’at, Mahmud mengikuti program Al Qur’an di Masjid Ar Rahman.
Ia juga mengaku sangat menyukai kegiatan menghafal Al Qur’an. Mahmud Salamah
menghafal di bawah arahan Syaikh Bilal Al Ghurabali. Menurut ibunya (yang biasa
dipanggil Ummu Muhammad) Syaikh Bilal lah yang berperan besar dalam
keberhasilan anaknya.
Tentang
Mahmud Salamah, Al Ghurabali berkata, “Sejak awal saya sangat kagum dan
terperangah dengan kecepatannya menghafal, kecerdasan dan kemauannya yang
sangat kuat untuk menghafal Al Qur’an. Saya mengganggapnya sebagai anak saya
sendiri, dan saat itu saya sangat berharap agar dia menjadi seorang hafizh Al
Qur’an yang baik. Saya merasa perlu memberikan perhatian khusus kepadanya. Dan
ternyata, dalam waktu 6 bulan pertama, Mahmud telah mampu menghafal 7 juz Al
Qur’an dengan baik dan benar, lalu setelah itu, pada bulanbulan musim panas
yang lalu, ia berhasil menyelesaikan menghafal 23 juz lainnya, sehingga ia
telah hafal seluruh isi Al Qur’an.”
Syaikh
Bilal mengatakan bahwa seluruh jama’ah shalat di masjid tempat Mahmud menghafal
Al Qur’an, mengenal dan mencintainya. Sedangkan Imam Masjid memanggilnya,
“Maulana,” panggilan yang biasa diberikan kepada para ulama dan qari Al Qur’an.
Namun
pernah juga Mahmud terhenti menghafal Al Qur’an. Yaitu pada tahun 2005 saat
ayahnya meninggal dunia. Ia merasakan tahun-tahun getir kehilangan sosok
seorang ayah. Namun, semangatnya muncul lagi ketika ia mendapatkan teman yang
mendukungnya untuk menghafal Al Qur’an.
Hingga
ia mendapatkan penghargaan dari Kementrian Waqaf dan urusan agama sekaligus
pemerintah di Jalur Gaza, Ismail Haniyya. Namanya juga tercatat Buku Catatan
Para Penghafal Al Qur’an di Gaza. Sebagai Hafidz Al Qur’an termuda. Ia juga
mendapatkan ijazah resmi Hifdh Al Qur’an (sertifikat menghafal seluruh isi Al
Qur’an) setelah ia sukses melalui ujian yang diselenggarakan oleh Dewan Khusus
Penguji. Meski prestasi yang diraihnya sangat membanggakan, Mahmud Salamah
tidak suka dipublikasikan. Sejumlah media yang ingin mewawancaranya pun pernah
ia tolak karena merasa bahwa publikasi dirinya di media-media, tidaklah perlu.
Maka Quds Press adalah satu media yang beruntung karena berhasil
mewawancarainya. Ibu dan gurunya, Syaikh Bilal berkata, “Akhirnya kami berusaha
menjelaskan kepadanya bahwa dirinya akan menjadi teladan yang baik bagi orang
lain melalui wawancara dengan media.”
Nah,
sahabat itulah tadi sedikit cerita tentang Mahmud Salamah. Bagaimana pendapat
kalian? tertarik dan ingin seperti dia? terinspirasi?makanya kalo mau jadi
seorang Hafizh/Hafizhoh, ayo kita berlomba-lomba dalam menghafal pedoman hidup
kita ini, yaitu Al Qur’anul kariim.
H.
Bara’ah,
Anak Pengidap Kanker, Hafal 30 Juz di Usia 10 Tahun
Berikut
ini adalah kisah Bara’ah Abu Lail, gadis kecil yang menderita kanker ganas
stadium akhir dan menjadi yatim piatu hanya dalam lima hari.
Bara’ah
Abu Lail, hafal Al-Qur’an pada usia 10 tahun. Namun Allah lebih Menghendakinya
bahagia di jannah-Nya. Anak kecil ini divonis terkena kanker ganas. Setelah
ibunya lebih dulu meninggal dunia karena penyakit yang sama.
Saat
ibunya mengetahui umurnya tidak lagi panjang, sang ibu berkata kepada anaknya
yang tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya :
“Anakku…. aku sebentar lagi, ibu akan mendahului kamu
menuju jannah Allah. Dan ibu ingin engkau setiap hari membacakan Al Qur’an yang
telah engkau hafalkan di telinga ibu. Kelak, Al Qur’an itulah yang akan
menjagamu di dunia (sepeninggal ibu)
Demikianlah
setiap sore gadis kecil ini membacakan Al Qur’an di telinga ibu yang terbaring
lemah di rumah sakit.
Suatu
hari ayah Bara’ah mendapat berita sangat penting dari rumah sakit bahwa kondisi
istrinya kritis. Maka tanpa pikir panjang ia bergegas mengajak Bara’ah menuju
rumah sakit.
Sesampai
di rumah sakit, sang ayah tidak ingin anaknya ikut bersamanya melihat apa yang
terjadi dengan ibunya. Ia khawatir gadis kecil itu shock jika mendengar kabar kondisi terburuk yang terjadi pada
ibunya. Rupanya sang istri benar-benar sedang kritis.
Dalam
kondisi sangat berduka ayah Bara’ah bergegas menuju mobilnya untuk
memberitahukan kondisi ibunya, namun Allah berkehendak lain. Karena guncangan
jiwa akibat musibah yang diterimanya, ia tidak fokus saat menyeberang jalan.
Qaddarullah,
sebuah mobil menabraknya. Laki-laki itu pun meninggal seketika di hadapan putri
tercintanya. Bara’ah menangis tersedu-sedu sambil memangku jasad ayahnya
tercinta yang sudah tak bernyawa lagi.
Belum
selesai musibah yang harus dihadapi gadis kecil ini, lima hari berselang dari
wafatnya sanga ayah, ibunya tercinta pun menyusul dipanggil Allah
menghadap-Nya. Tinggallah Bara’ah sebatang kara di negeri orang. Kedua orangtua
Bara’ah adalah warga negara Mesir yang bekerja sebagai tenaga medis di Arab
Saudi.
Bara’ah
Abu Lail setelah hafal Al-Qur’an, lalu ditinggal meninggal dunia oleh ayah dan
ibunya, kemudian menjadi yatimpiatu, dan tak lama setelah menjadi yatim-piatu,
ia pun akhirnya meninggal karena penyakit kanker.
Tidak
berselang lama, tanpa sebab tanpa gejala apapun sebelumnya, gadis kecil ini
merasakan kesakitan yang luar biasa sebagaimana dialami oleh ibunya. Setelah
diperiksa oleh dokter, ternyata ia pun mengidap penyakit kanker stadium akhir
seperti yang dialami oleh ibunya.
Namun
dengarlah apa yang diucapkan gadis kecil ini ketika ia tahu apa yang dialaminya
: “alhamdulillah …. sebentar lagi aku
akan menyusul papa dan mama….!!!”
Seluruh
yang mendengar ucapan gadis kecil itu terkejut bukan kepalang. Ujian dan
musibah yang bertubi-tubi menimpa anak sekecil itu tetapi tidak sedikit pun
membuatnya putus asa atau gundah gulana. Ia bahkan begitu sabar menghadapi
beratnya cobaan hidup yang dihadapinya.
Subhaanallaah…
Al-Qur’an membuatnya seteguh karang menghadapi ujian yang bertubi-tubi datang.
Seorang dermawan Saudi Arabia lalu membiayainya untuk berobat ke Inggris.
I.
Mu’adz,
Anak Tunanetra, 11 Tahun Hafal AlQuran
Mu’adz
namanya, ia adalah seorang anak yang sejak kecilnya ditaqdirkan kurang
beruntung, ia tidak dapat melihat layaknya manusia normal (buta). Sampai disini
tidak ada yang unik pada diri Mu’adz, karena bukan hanya ia yang ditaqdirkan
buta di dunia ini.
Namun
yang membuat unik adalah walau buta ia mampu menghafal Al-Qur’an lengkap 30
juz. Sejak awal ia mulai menghafal dengan penuh kesabaran, dan tentunya dengan
motivasi yang tinggi, hingga pada usianya yang ke 11 tahun ia berhasil
menghatamkan Al-Qur’an.
Pembaca
sekalian, mungkin bagi kita yang memiliki penglihatan normal, kita menganggap
mata adalah jendela dunia. Tanpanya, hidup ini terasa tak lengkap dan sempurna.
Bayangkan saja jika sejak lahir kita tidak memiliki mata normal, atau
sebelumnya memiliki penglihatan normal namun pada akhirnya ditakdirkan buta (Nau’udzubillah), apa yang terjadi? Kita
tidak bisa melihat dan tentunya sangat sedih. Namun tidak demikian bagi anak
ini, ia sama sekali tidak pernah mengeluh atas derita yang ia alami, bahkan ia
bersyukur atas kondisinya ini. Keterbatasan fisik tidak membuatnya terhalang
untuk menghafal Al-Qur’an. Ia menganggap takdirnya ini (buta) menjadi jalan
baginya untuk bisa hafal Al-Qur’an.
Dalam
sebuah video rekaman acara tv seorang imam masjid, yaitu Syaikh Fahd Al-Kandari,
mewawancarai Mu’adz yang juga merupakan pembawa acara pada acara tersebut.
Beliau menanyakan perihal bagaimana ia belajar dan menghafal AlQur’an padahal
ia memiliki keterbatasan fisik. Semangatnya untuk menghafal ayat-ayat Allah
yang mulia membuat langkah kakinya ringan untuk pergi ke tempat gurunya.
“Pada
awalnya hanya satu hari dalam sepekan. Lalu saya mendesak beliau (syaikhnya)
dengan sangat agar menambah harinya untuk menghafal qur’an, sehingga menjadi
dua hari dalam sepekan. Syaikh saya sangat ketat dalam mengajar. Beliau hanya
mengajarkan satu ayat saja setiap hari,” ungkap muadz
Yang
lebih mengagumkan dalam dialog itu adalah pernyataannya tentang kebutaannya. Ia
tidak berdoa kepada Allah agar Allah mengembalikan penglihatannya, namun rahmat
Allah-lah yang ia harapkan.
Tentu
saja, setelah mendengar kalimat mulia anak ini, semua yang ada di studio saat
itu diam. Penyiar TV nampak berkaca-kaca dan air matanya menetes. Para pemirsa
di stasiun TV serta kru TV tersebut juga tak tahan menitikkan air mata.
“Pada
saat ini, saya teringat banyak kaum muslimin yang mampu melihat namun
bermalas-malasan dalam menghafal kitab Allah, Al-Quran. Ya Allah, bagaimana
alasan mereka besok (di hadapan-Mu)?” kata Syaikh Fahd Al-Kanderi.
J.
Hammad Muchtar Dzulhimi,
Usia 13 Tahun Hafal 30 Juz
Pentas
bocah penghafal Al-Quran Indonesia di dunia ternyata diakui oleh banyak negara,
terutama Timur Tengah. Hal ini dibuktikan oleh Mohammad Muchtar Dzulhimi, bocah
kecil penghafal Al-Quran kebanggaan bangsa Indonesia, berhasil lolos seleksi
The 16th Session Dubai International Holy Quran Award 2012 di Dubai, Uni Emirat
Arab, pada agustus lalu. Dzulhimi menjadi peserta yang mengikuti hafalan 30 juz
Al-Quran.
Pada
seleksi awal, Dzulhimi berhasil mengalahkan penghafal kecil dari Spanyol,
Aljazair, Qatar, Sudan, Kongo, Barbados, dan Papua Nugini. Untuk mencapai
final, Dzulhimi harus bersaing dengan penghafal Al-Quran dari 87 negara
lainnya.
Menurut
pimpinan delegasi Indonesia, H.M. Jamaluddin Noor, kondisi Dzulhimi kala itu
dalam kondisi prima dan siap tampil. Bahkan, peserta Indonesia dari tahap awal
dites lulus dan berhak ikut tampil sampai selesai. Penampilan pertamanya
menurut Noor sangat memukau. Dzulhimi sangat beruntung karena tidak semua
peserta berhak mengikuti sampai akhir disebabkan ada tes terlebih dahulu.
Banyak negara yang dites tidak lulus, salah satunya dari negara tetangga,
Singapura, yang dipulangkan lebih awal.
Noor
tidak memiliki target yang muluk-muluk terhadap Dzulhimi. Apalagi, cuaca di
Dubai mencapai 44°C yang berbeda dengan tanah air. Namun, ia yakin mampu
bersaing di level yang tinggi, dan minimal masuk 10 besar. Untuk sampai pada
putaran final, para peserta harus lulus tes awal yang dilakukan oleh para juri
asal UAE. Tes bertempat tinggal di hotel tempat mereka menginap. Jika lulus,
maka peserta dapat maju ke putaran final yang diselenggarakan di gedung Dubai
Chamber of Commerce, dan dapat disaksikan oleh masyarakat luas secara langsung,
baik di tempat acara maupun berbagai media TV di UAE.
Selama
perlombaan, juri didatangkan dari 5 (lima) negara berbeda: Mesir, India, Qatar,
Arab Saudi, dan Indonesia. Sedangkan para juri untuk putaran final berasal dari
negara selain UAE. Pada tahun tersebut diundang pula juri Indonesia, yaitu Dr.
H. Said Agil Husin Al-Munawar, mantan Menteri Agama RI.
Meski
pada akhirny bocah yang masuk duduk di bangku kelas VI di salah satu madrasah
di Indonesia ini tidak berhasil meraih yang terbaik, namun banyak pihak yang
mengaku puas atas penampilannya sebagai penghafal Al-Quran. Selain itu,
penampilan hafizh bocah dari negeri sendiri dengan penduduk muslim terbesar di
dunia memang patut menjadi pertimbangan.
Bahkan, Dubes RI untuk UAE, Salman Al Farisi, yang hadir dalam acara tersebut memberikan nilai positif. Menurutnya, kompetisi ini sangat bermanfaat bagi kemajuan Islam. Menjadi wahana bagi para hafizh Indonesia untuk mengasuh kemampuannya. Dubes merasa sangat kagum dan bangga dengan kemampuan Dzulhimi yang masih sangat muda, namun sudah hafal Al-Quran.