HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Batang Tabik: Air Kehidupan yang Tak Boleh Kering oleh Waktu

Oleh Wahyudi Thamrin, S.H., M.H.


Di tepian Sungai Kamuyang, suara air selalu lebih fasih bercerita daripada manusia.
Dari gemericiknya, kita belajar tentang keseimbangan bagaimana alam memberi tanpa meminta, dan bagaimana manusia sering lupa bahwa air bukan hanya sumber kehidupan tetapi juga sumber tanggung jawab.

Batang Tabik, mata air yang meneteskan sejarah bagi Nagari Sungai Kamuyang, bukan sekadar aliran bening yang menyejukkan sawah dan ladang. Ia adalah denyut ekonomi, urat nadi sosial, bahkan penanda identitas bagi ribuan warga di jantung Luhak nan Bungsu. Dari sanalah lahir kehidupan, dan dari sanalah pula muncul persoalan baru tentang bagaimana air dijaga, dimanfaatkan, atau tanpa sadar dikuras perlahan.

Kini, di tengah perubahan iklim dan kebutuhan yang terus meningkat, Batang Tabik memikul beban lebih berat. Pemerintah Kota Payakumbuh melalui Perumda Air Minum Tirta Sago menjadikannya sebagai salah satu sumber utama pasokan air bersih kota. Hingga tahun 2023, Tirta Sago telah melayani lebih dari 34 ribu pelanggan, dengan produksi air yang sebagian besar bertumpu pada sumber dari Batang Tabik.

Namun, di balik angka yang tampak menjanjikan itu, tersimpan catatan yang harus kita baca jujur. Debit air dari instalasi pengolahan baru hanya sekitar 50 liter per detik, sementara kebutuhan terus menanjak. Jaringan distribusi yang menua dan kehilangan air mencapai level tinggi. Ini bukan sekadar soal teknis, tetapi tanda bahwa sistem pengelolaan air kita belum sepenuhnya berpihak pada keberlanjutan.


Batang Tabik kini hidup di antara dua dunia, di satu sisi menjadi kebanggaan wisata nagari yang elok dan sejuk, di sisi lain menjadi tulang punggung kebutuhan kota yang tak pernah kenyang. Ironinya, air yang sama bisa menghadirkan kesejahteraan sekaligus konflik. Sengketa lahan sumber air, tarik-menarik kepentingan ekonomi, hingga lemahnya regulasi konservasi semuanya memperlihatkan bahwa kita masih lebih pandai mengambil manfaat daripada menjaga sumbernya.

Padahal, air ini bukan milik pemerintah, bukan milik pengusaha, dan bukan milik nagari semata. Air ini milik kehidupan itu sendiri. Nagari Sungai Kamuyang harus ditempatkan sebagai mitra sejajar dalam pengelolaan sumber air. Masyarakat lokal bukan penonton, melainkan penjaga yang paling mengerti denyut tanahnya. 

Pengelolaan berbasis nagari, konservasi kawasan tangkapan air, dan pembagian hasil yang adil antara kota dan nagari adalah syarat moral untuk memastikan Batang Tabik tidak menjadi cerita kehilangan di masa depan.

Ketika musim kemarau datang, kita mulai sadar betapa mahalnya setetes air. Di beberapa jorong, warga harus membeli air tangki karena sumur-sumur mengering. Ini bukan lagi sekadar peringatan ekologis, tapi tanda darurat moral: kita telah meminjam dari masa depan tanpa rencana mengembalikan.

Sebagai generasi muda, kita tak bisa hanya menyalahkan, tapi harus mengambil peran. Kita bisa memulai dari hal sederhana menjaga hutan kecil di hulu, menanam pohon di sekitar mata air, membangun teknologi penampungan air hujan, hingga menanamkan kesadaran di sekolah bahwa air bukan hanya kebutuhan, tapi warisan. Gerakan Nagari Ramah Air bisa menjadi pintu bagi perubahan, menghubungkan kearifan lokal dengan inovasi baru yang berpihak pada alam.

Jika pemerintah mau mendengar suara nagari, dan swasta mau berjalan seirama dengan nilai-nilai lokal, maka Batang Tabik akan tetap mengalir bukan hanya di saluran pipa, tapi juga dalam kesadaran kolektif kita sebagai pewarisnya. Air Batang Tabik bukan sekadar sumber kehidupan.


Ia adalah cermin, sejernih apa kita menatap masa depan, seadil apa kita memperlakukan alam yang memberi tanpa pamrih. Dan selagi air itu masih mengalir di Sungai Kamuyang, semoga nurani kita belum benar-benar kering.(*)