Padang, Gerakan Suara Rakyat – Massa yang mengatasnamakan diri Gerakan Suara Rakyat (GSR) Sumbar menyatakan penolakan mereka atas penggusuran masyarakat Rempang di Kepulauan Riau, sekaligus melakukan refleksi atas 25 tahun reformasi yang mereka nilai belum membawa kemerdekaan sejati bagi rakyat Indonesia.
Aspirasi tersebut mereka tumpahkan dalam Panggung Rakyat yang terlaksana di Tugu Gempa, Kota Padang pada Rabu 27 September malam. Selain membuka mimbar bebas dan berbagai bentuk ekspresi seni, aksi ini juga berlandaskan pada narasi kajian yang tertulis dan disebar kepada para peserta kegiatan secara daring.
“Bulan September merupakan bulan kelam bagi Indonesia. Pasalnya banyak sekali pelanggaran atas Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia, pada bulan ini. Mulai dari kebebasan berpendapat yang sering dibungkam, penganiayaan, penculikan, sampai pembunuhan,” ungkap Revo, seperti tertulis dalam kajian aksi.
Ia mencontohkan tragedi 1965-1966, yang dilatar belakangi dengan penculikan dan pembunuhan tujuh jendral pada 30 September 1965 (G30S), yang diindikasi dalang dibaliknya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan memantik ratusan ribu hingga jutaan pembunuhan dan penangkapan tanpa proses hukum. Belum lagi kasus pembunuhan Munir, aktivis pejuang HAM yang gugur pada 7 September 2004 setelah diracun arsenik. Selain itu, terbunuhnya Salim Kancil, Reformasi Dikorupsi, dan masih banyak deretan kasus yang tercatat sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi pada bulan September.
“Dan sampai saat ini, pemerintah belum memiliki kebijakan yang berpihak kepada korban untuk memberikan rasa keadilan dalam bentuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi,” imbuhnya. Kendati berangkat dari solidaritas se-Indonesia, massa GSR juga tidak melupakan konteks lokal Sumatera Barat yang mencatatkan rentetan konflik dimana masyarakat sipil menjadi korban, terutama dalam persoalan agraria.
“Di tengah kesangsian kita akan keberpihakan negara terhadap rakyat, baru-baru ini kita disuguhi pula pemandangan yang sungguh memilukan hati. Proyek Strategis Nasional (PSN) di Air Bangis, Pasaman Barat, kebijakan pemerintah yang katanya untuk kemajuan bangsa, justru membuat anak bangsa terusir dan terjajah dari tanahnya sendiri,” ungkap Lusi, salah satu peserta aksi.
Menurutnya kasus yang terjadi di Air Bangis, Rempang, klaim sepihak negara terhadap tanah rakyat dengan dalih hutan negara, hutan produksi, yang selanjutnya akan diberikan HGU-nya kepada investor, adalah contoh kebijakan negara yang justru mencederai HAM itu sendiri.
“Di saat masyarakat Air Bangis, Pasaman Barat berusaha mencari keadilan untuk memperjuangkan ruang hidupnya, para pemangku kebijakan justru abai dan tidak mau mendengarkan aspirasi rakyat. Justru tindakan diskmirnatif serta represiflah yang diberikan sebagai respon akan rakyat yang bersuara saat mencari keadilan.”
“Begitu juga dengan apa yang terjadi di Rempang. Saat masyarakat melayu rempang mencoba mempertahankan hak-haknya, ancaman dan rasa tidak amanlah yang mereka terima. Maka dari itu, kasus-kasus yang semakin bergulir dan bertambah setiap waktunya, menambah sikap skeptis ktia terhadap negara,” tegasnya.
Dengan segala keresahan tersebut Panggung Rakyat Berdiri, berusaha untuk menampung ungkapan keresahan maupun solidaritas dari berbagai kalangan. Ekspresi tersebut ditunjukkan melalui orasi, penampilan puisi, musik akustik, mural, art therapy, hingga penampilan teatrikal riwayat aktivis HAM Munir.
Rangkaian Panggung Rakyat dituntaskan dengan aksi memegang lilin bersama sembari membacakan deklarasi solidaritas masyarakat Sumatera Barat untuk korban ketidak adilan negara di Rempang, Kepulauan Riau.(*)