Search

Catatan Tan Malaka Tentang Singapura


Catatan Tan Malaka mengenai kota Singapura dari beberapa kali persinggahan nya disana yang diambil dari Otobiografi Dari Penjara ke Penjara bagian 2

PADA masa Raffles menduduki kota Singapura, jadi lebih dari satu abad lampau, maka menurut satu statistik yang saya baca dalam “Straits Time” (?) penduduk Singapura baru 6 ribu orang. Memang sudah ada juga orang Tionghoa di masa itu, tetapi bangsa Indonesia jauh lebih banyak, kalau saya masih ingat adalah l.k. 90% dari semua penduduk. Tidak saja banyaknya penduduk, tetapi hampir seluruhnya mata pencarian masih ditangannya bangsa Indonesia. (Melayu, Minangkabau, Jawa, Bugis, Palembang dll). Perusahaan, pelayaran, perikanan, dll. masih sebagian terbesar berada di tangannya bangsa Indonesia. Apalagi di pedalaman, semua sumber pencarian hidup masih di tangan putera bumi. Pertambangan timah yang masyhur dari zaman dahulu kala itu, berada di tangannya Indonesia. Disebutkan dalam salah satu tulisan bahwa menjelang penghabisan abad yang lalu, perusahaan yang terbesar ialah yang dimiliki dan diusahakan oleh seorang majikan bernama Raja Mandailing.

Memang bangsa Tionghoa dan Hindu di zaman lampau banyak mengambil bagian dalam perdagangan Indonesia. Tetapi terutama dalam bagian export. Di pasar pedalaman boleh dikatakan seluruhnya perdagangan berada di tangannya Indonesia, seperti masih kelihatan sekarang di Minangkabau. Pun perdagangan export dan perkapalan, sebagian besar masih digenggam oleh bangsa Indonesia (Sriwijaya, Majapahit, Banten, Minangkabau, Malaka dll).

Tentang pertukangan, seperti dalam hal tembaga, perak, besi dan emas, bangsa Indonesia pasti tak kalah oleh bangsa manapun juga di masa lampau itu. kainpun ditenun di Indonesia sendiri. Yang masuk dari luar negeri tidak berapa macam dan banyaknya barang. Umpamanya sutera dari Tiongkok, cawan-piring dari Indo-Cina. Tetapi Indonesia hampir mengeluarkan semua macam logam untuk alat dan perhiasan, rempah-rempah, kayu serta barang hutan seperti rotan, damar, kamper dll. Di kota Malaka dan Singapura sebelum Raffles, sebagai bandar-bandar Indonesia yang didiami oleh berbagai-bagai suku bangsa dari seluruhnya Indonesia, perusahaan, perdagangan, dan perkapalan sebagian besar berada di tangannya bangsa Indonesia. Musafir Tionghoa yang melukiskan kota Malaka di zaman luhurnya menghargai saudagar Indonesia sebagai orang yang cakap dan jujur.

Berturut-turut bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris menghancurkan tentara dan semangat keprajuritan Melayu di daratan dan di lautan. Kemudian dalam lebih kurang satu abad belakangan ini Inggris menghancur luluhkan perusahaan, perdagangan dan perkapalan Melayu dan menukar bangsa Melayu dari bangsa penyebar agama, ahli dan pembesar negara, prajurit, tukang, pelaut dan saudagar menjadi polisi, sopir, tengkulak, dan bujang kantor.

Kejadian Inggris dalam usahanya itu terutama disebabkan oleh (1) perampasan tanah dan logam, (2) pemasukan modal dan tenaga bangsa asing dengan tidak terbatasnya, atau namanya dibatasi tetapi mudah diselundupi karena adanya polisi yang korup.

Perkara perampokan tanah tidaklah perlu banyak lagi saya uraiakan disini. Diatas sudah banyak saya sebutkan sebagai modal besar menerobos “Mining Lawnya”, Undang-Undang tambang itu dibikin (buat diselundupi!), maka hampir semua tanah yang berisi logam (timah, arang, dan besi) sudah dirampas oleh modal besar met of zonder persetujuan “para Raja”, ialah kaki tangannya Inggris, dan penindas serta pengisap rakyatnya. Tetapi dihampir jatuhnya Malaka ke tangan Jepang, maka masih banyak orang Tionghoa, dengan tidak seizinnya Indonesia asli berkeliaran di hutan, merampas tanah yang mengandung emas. Mereka menambang emas, mengeruhkan sungai-sungai yang dahulunya mengandung banyak ikan untuk makanan putera bumi dan musnah lantaran kekeruhan air itu.

Seorang Inggris bernama Hubback (?) acapkali menulis dan memprotes perkara ini, tetapi tidak diacuhkan oleh pemerintah Inggris yang dikendalikan oleh modal timah dan getah. Hampir seluruh perikanan di pesisir semenanjung, yang dahulunya menjadi sumber pencarian bagi Putera bumi sudah lama jatuh ke tangan Tionghoa totok. Dengan izinnya pemerintah Inggris memberikan tanah kepada bangsa Tionghoa di beberapa tempat, maka akan mungkin gelap benarlah nasibnya Indonesia asli di hari depan.

Perkara masuk tidak terbatas (unlimited immigration) bangsa asing itu ke Malaya, sekarang sebenarnya bukan soal lagi bagi bangsa Melayu. Sekarang pun bangsa Melayu yang 2 juta banyaknya itu sudah kurang daripada jumlah bangsa Tionghoa dan Hindustan. (Tionghoa lebih dari dua juta dan Hindustan kurang dari 1 juta banyaknya!). Sekarang bukan lagi soal membatasi masuknya orang asing yang sudah lebih banyak daripada bangsa asli itu, melainkan perkara bagaimana jalannya mengurangi banyaknya bangsa asing yang mendesak bangsa asli dalam penghidupannya sendiri atau menambah banyak bangsa asli sekarang supaya mendapatkan angka yang patut pantas berhubung dengan politik, ekonomi dan sosial Tanah Semenanjung dan kemerdekaan 100% bagi seluruhnya bangsa Indonesia.

Bahwa penduduk asli sudah dilebihi oleh jumlah penduduk asing itu, belumlah memberi gambaran yang benar tentang nasib hidupnya bangsa asli. Begitu pula sedikit jumlah bangsa Yahudi di sesuatu negara di Eropa atau sedikit jumlahnya orang Chetty di Burma kalau dibandingkan dengan penduduk asli, bukanlah pada memberi gambaran yang sempurna tentang keadaan bangsa asing. Haruslah terutama diselidiki keadaan ekonomi umumnya dan sumber pencaharian yang dipegang oleh bangsa asing itu khususnya.

 Semua perkebunan besar sudah dimiliki oleh bangsa asing (Inggris dan Tionghoa). Cuma ladang getah yang setelapak tangan luasnya yang masih berada di tangan bangsa asli. Hasil getah yang seluas telapak tangan itupun jatuh ke bawah peraturan “restriction” (pembatasan). Setelah dikumpulkan getah yang dibatasi keluarnya itu (buat membantu kebun asing), maka seterusnya getah putera bumi tadi jatuh ke tangan tengkulak saudagar dan exportir asing. Dua tiga benggol saja yang tinggal di kantongnya bangsa Melayu.

Perusahaan timah sudah lama jatuh di tangan bangsa asing. Tetapi kalau seandainya pekerjaan buruh di pertambangan dan diperkebunan di jalankan oleh bangsa Melayu, maka akan ada juga ampas perekonomian yang jatuh ke tangan Melayu, akan ada juga timah yang jatuh dari meja makannya modal asing, yang dapat dimakan oleh putera bumi. Tetapi ampas perekonomian inipun jatuh ke tangan kuli asing. Lompen proletar asing, orang luntang-lantung di Tiongkok ataupun penjahat yang dikejar-kejar oleh pemerintahan Tiongkok, baik dahulu maupun sekarang, dapat masuk ke Singapura, satu Free-port, pelabuhan bebas.

Mereka lepas dari tuntutan dan berbahagia mendapatkan satu dua benggol untuk pengisi perut, dengan bekerja sebagai kuli di tambang atau di kebun. Umumnya pertambangan di Malaya memakai kuli Tionghoa yang amat murah bayarannya dan perkebunan memakai kuli Keling yang juga terpaksa (karena miskinnya) menerima upah yang amat rendah (30 sen sehari). Semakin banyak “luntang-lantung” Tionghoa dan Keling yang masuk, semakin tajam persaingan antara kuli dan kuli dan semakin baik buat si kapitalis yang menghendaki kuli yang murah, rajin dan patuh.

 Dengan masuknya Tionghoa, Hindu, Keling ke Malaya, dengan kekuatan sebagai arus banjir menerobos pematang (dijk, galangan), maka hancurlah bangsa Indonesia ke pinggir-pinggir kota dan ke pegunungan. Kota, dan kebun rata-rata diduduki oleh “para tamu”. Beberapa contoh yang saya saksikan sendiri dalam lebih kurang seperempat abad di belakang ini, dapatlah kiranya memberikan sekedarnya gambaran. Sekembalinya saya dari Nederland tahun 1919, maka di bagian kota Singapura, yang sekarang berada di sekitarnya “High Street” masih terdapat toko bangsa Indonesia. Pun disana sini kelihatan rumah yang sedang besarnya, yang didiami oleh bangsa Indonesia. High Street adalah tiga atau empat km jauhnya dari pelabuhan Tanjung Pagar.

Di Kampung Gelam, yang juga dinamai Kampung Jawa, boleh dikatakan cuma kedai dan rumah bangsa Melayu yang terdapat. Bangsa Indonesia masih mempunyai perusahaan emas, perak, tembaga, toko kain, perusahaan penjahitan, toko barang kelontong, warung nasi dan rumah yang besar-besar juga. Jauhnya Kampung Gelam, dimana masih berdiri “istana” yang diberikan oleh Raffles kepada Sultan Hussein sebagai umpan, adalah +- 5-6 km jauhnya dari pelabuhan. Selanjutnya Kampung Geylang yang luas dan +- 9-10 km jauhnya dari pelabuhan itu, hampir sama sekali pula didiami oleh bangsa Indonesia. Bangsa Tionghoa sebagian besar terkumpul dekat pelabuhan Tanjung Pagar, dinamai “Cina Town”, kampung Cina.

Pada tahun 1927, jadi kurang 10 tahun lamanya di belakang hari, maka sekitarnya High Street sudah tak kelihatan lagi dari toko dan rumah orang Indonesia. Kampung Gelam atau Kampung Jawa sudah setengahnya diduduki oleh bangsa Tionghoa, Hindu dan Keling. Cuma Geylang saja yang masih boleh dikatakan kampung Melayu.

Pada tahun 1937, ketika saya masuk kembali ke Singapura maka tidak saja sekitarnya High Street, tetapi juga Kampung Jawa sudah setengahnya diduduki oleh bangsa Tionghoa, Keling, dan Hindu. Orang Indonesia cuma terdapat disana-sini sebagai barang peringatan ke masa lampaunya. Oleh karena usaha Encik Yunus, seorang Indonesia Minangkabau, maka pemerintah Singapura membenarkan berdirinya “kampung istimewa” buat orang Melayu.

Disini cuma orang Indonesia saja yang boleh tinggal. Jauhnya Kampung Melayu “istimewa” ini lk. sudah 20 km dari pelabuhan. Seperti Amerika Serikat akhirnya, berdasarkan peri kemanusiaan mereka perlu mengadakan Indian Reservation, tanah istimewa buat penduduk asli orang Indian itu, demikianlah pula karena prikemanusiaan, ala Inggris, pemerintah Singapura merasa perlu mengadakan “Malaya Reservation” untuk bangsa Indonesia yang sudah sangat mendesak itu, di tanah airnya sendiri.

Pada tahun 1937 itu, jadi lebih kurang dalam seperempat abad semenjak saya mengunjungi Singapura yang pertama kalinya itu, maka bangsa Indonesia sudah berturut-turut terpelanting dari pelabuhan Tanjung Pagar (tempat kediaman mereka semula, ketika Inggris masuk) : (1) ke sekitar High Street, 3-4 km dari pelabuhan, ialah pada tahun 1919, (2) ke Kampung Gelam, 5-6 km dari pelabuhan, ialah pada tahun 1927 (3) ke Kampung “istimewa” +- 20 km dari pelabuhan, ialah pada tahun 1937.
Di Kampung Jawa, bekas pusatnya perekonomian Indonesia, hilang lenyaplah perusahaan logam (emas, perak, tembaga) Indonesia. Yang tinggal cuma satu dua penjahitan kulit dan pecis. Dua toko kain Padang dan satu warung nasi Padang, satu toko obat Jawa dan satu toko buku Indonesia lagi, berdiri sebagai “candi” perekonomian Indonesia di tengah-tengah masyarakat asing di tanah airnya sendiri.

Pada tahun 1937 itu penduduk Singapura ditaksir 700 ribu orang banyaknya. Diantaranya ditaksir 600.000 Tionghoa atau lebih kurang Tionghoa atau lebih kurang 85%; orang Keling Hindu 70.000 orang atau 10% dan orang Melayu 30.000 orang atau lebih kurang 5%. Ada pula yang menaksir banyaknya orang Melayu cuma 10.000 orang saja, atau cuma 1% lebih sedikit saja. Demikianlah jatuh perbandingan banyaknya bangsa Melayu dari 90%, ketika Inggris masuk, sampai ke 5% atau 1% dari jumlah penduduk diwaktu satu abad dikemudian hari.

Hal jumlah di Singapura saja belumlah dapat memberi ukuran yang sempurna. Harus diketahui pula bahwa tidak saja di kota Singapura, tetapi juga di kota-kota besar seperti Penang, Kuala Lumpur dll, bangsa Timur Asing sudah mempunyai sebegitu banyak, sehingga mereka bisa mengadakan produksi sendiri, pasar sendiri, perguruan sendiri, masyarakat sendiri, pasar sendiri, perguruan sendiri, masyarakatnya sendiri dan logis-nya sendiri. Tak berapa jauh daripada kebenaran, kalau dikatakan, bahwa bangsa Timur Asing umumnya dan bangsa Tionghoa khususnya sudah mengadakan “Negara di dalam Negara” di Semenanjung Malaya.

Bangsa Indonesia sendiri, yang mengaku dirinya sebagai putera bumi, turunan ahli agama, ahli negara dan pembentuk Undang-undang Laut seperti Sultan Mansyur Syah; turunan Hang Tuah seorang anak miskin yang sanggup menjadi ahli siasat, politi, ahli jiwa serta lambang kesatriaan dan kejujuran; bangsa Indonesia Malaya yang pernah menguasai produksi, perdagangan dan perkapalan; bangsa Indonesia Malaka, yang oleh Maharaja Langit dari kerajaan yang terbesar di dunia ini diakui sebagai bangsa “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi”; bangsa Indonesia yang cakap mengawasi ketentraman di laut daerahnya dan sanggup memberikan hukuman kepada pelanggar undang-undang lautnya, walaupun dari rakyatnya kerajaan yang terbesar di dunia, dalam kurang lebih satu abad oleh Inggris diturunkan menjadi bangsa polisi, bujang kantor dan sopir dari bangsa asing di tanah airnya sendiri.

Bangsa Indonesia seluruhnya (bukan Indonesia Malaya saja) sangat berkepentingan di Malaya. Sebagai  pusat pasar dunia, pusat lalu lintas dan pusat strategi. Orang desapun tak membiarkan begitu saja seekor ular berkeliaran di kebunnya. Demikian pula perbuatan komplotan dan perusakan imperialis Inggris di Malaya itu tak diperamati oleh bangsa Indonesia dengan berpangku tangan saja. Sikap tindakan Indonesia Republik, terhadap Malaya tak berhenti dengan putusan Persatuan Perjuangan dalam Kongres terakhirnya di Madiaun pada tanggal 17 Maret 1946 saja.

Pun tidak pula tidak akan terhenti dengan tuntutan organisasi politiknya Indonesia-Malaya hendak bergabung dan sehidup semati dengan Indonesia yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemusnahan bangsa Indonesia Malaya, atau tenggelamnya bangsa Indonesia Malaya diantara bangsa Asia-Timur yang masih mengakui leluhurnya sebagai negaranya, adalah perkara yang langsung dan tak langsung akan mempengaruhi soal hidup matinya Republik, teristimewa di hari depan.

Sumber: (Rully harmaidi TMI)